BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi,
pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi.
Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun
tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian,
disadari bahwa pemilihan
umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya tolak ukur
dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih
bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying,
dan sebagainya.
Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas
nasional dan memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-gejolak
sosial dan politikdalam proses pemilihan umum. Hal inilah yang menjadi latar
belakang penulis dalam menulis makalah (papers) ini, selain sebagai pemenuhan
tugas sistem politik indonesia. Dalam perkembangan kehidupan politiknya,
indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan umumbaik itu dengan
mengadopsi sistem yang ada di dunia barat ( walaupun tidak semuanya bekerja
efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan politik.
2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1) Apakah yang dimaksud dengan
pemilihan umum?
2) Apa itu sistem pemilihan umum?
3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui apakah yang
dimaksud dengan pemilihan umum.
2) Untuk mengetahi apa itu sistem
pemilihan umum
3) Untuk mengetahui jalannya sistem
pemilihan umum di Indonesia
4) Untuk mengetahui sistem pemilihan
umum yang cocok di terapkan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pemilihan Umum
Salah satu wujud demokrasi adalah dengan Pemilihan Umum.
Dalam kata lain, Pemilu adalah pengejawantahan penting dari “demokrasi
prosedural”. Berkaitan dengan ini, Samuel P. Huntington dalam Sahid gatara
(2008: 207) menyebutkan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para
pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka pimpin. Selain itu,
Pemilu sangat sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau “demokrasi
subtansial”, yakni demokrasi dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang memegang
kekuasaan tertinggi.
Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah
pemerintahan perwakilan (representative government). Secara sederhana,
Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk menentukan
orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam pemilihan umum, biasanya para kandidat akan melakukan
kampanye sebelum pemungutan suara dilakukan selama selang waktu yang telah
dientukan. Dalam kampanye tersebut para kandidat akan berusaha menarik
perhatian masyarakat secara persuasif, menyatakan visi dan misinya untuk memajukan
dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
2.
Tujuan Pemilihan Umum
Tujuan diselenggarkannya Pemilihan Umum adalah untuk memilih
wakil rakyat dan wakil daerah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis,
kuat dan memperoleh dukungan dari rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan
nasional.
3.
Manfaat Pemilu
Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan
yang berada di tangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat
dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu,sistem dan penyelenggaraan pemilu
selalu menjadi perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan kualitas
penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat.
4.
Sistem Pemilihan Umum
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem Pemilihan
Umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi pada umumnya berkisar pada dua
prinsip pokok, yaitu:
a.
Sistem Distrk
Sistem ini merupakan sistem pemilihan umum yang paling tua
dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang
biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu
wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam
sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat
ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang di dalam satu distrik memperoleh
suara terbanyak dikatakan pemenang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada
calon-calon lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun
kecilnya selisih kekalahannya.
1)
Keuntungan Sistem Distrik ·
Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai
politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya
satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan
perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang- kurangnya
menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accord.
Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru
dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan
partai secara alami dan tanpa paksaan.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat
dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan denga konstituen lebih erat.
Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan
distriknya.
Bagi partai besar system ini menguntungkan karena melalui
distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga
memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian, sedikit banyak partai pemenang
dapat mengendalikan parlemen.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan
mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai
lain. hal ini mendukung stabilitas nasional.
Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.
2) Kelemahan Sistem Distrik
System ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil
dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam
berbagai distrik.
Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang
calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali,
atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah
suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak
adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang
plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga
menimbulkan anggapan bahwa kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis
dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan
kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
b.
Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem proporsional
Sistem ini dianut oleh Indonesia. Pemilu tidaklah langsung
memilih calon yang didukungnya, karena para calon ditentukan berdasarkan nomor
urut calon-calon dari masing- masing parpol atau organisasi social politik
(orsospol). Para pemilih adalah memilih tanda gambar atau lambing sustu
orsospol. Perhitungan suara untuk menentukan jumlah kursi raihan masing-m,asing
orsospol, ditentukan melalui pejumlahan suara secara nasional atau penjumlahan
pada suatu daerah (provinsi). Masing-masing daerah diberi jatah kursi
berdasarkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di daerah yang bersagkutan.
Banyak atau sedikitnya kursi yang diraih adalah ditentukan
oleh jumlah suara yang diraih masing-masing parpol atau orsospol peserta
pemilihan umum. Calon terpilih untuk menjadi wakil rakyat duitenukan
berdasarkan nomor urut calon yang disusun guna mewakili orsospol pada
masing-masing daerah. Inilah yang disebut perhitungan suara secara
proporsional, bukan menurut distrik pemilihan (yang pada setiap distrik hanya
aka nada satu calon yang terpilih).
1)
Keuntungan sistem proporsional
Dianggap lebih representative karena persentase perolehan
suara setiap partai sesuai dengan persentase perolehan kursinya di parlemen.
Tidak ada distorsi antara perolehan suara dan perolehan kursi.
Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai
kecil dan golongan minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya di
parlemen. Karena itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada
system ini.
2)
Kelemahan
Kurang mendorong partai-partai yang berintegrasi satu sama
lain, malah sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara
mereka. Bertambahnya jumlah partai dapat menghambat proses integrasi diantara
berbagai golongan di masyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini mempermudah fragmenrasi
dan berdirinya partai baru yang pluralis.
Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituennya,
tetapi lebih erat dengan partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan
partai lebih menonjol daripada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya,
system ini member kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk menentukan
wakilnya di parlemen melaluin Stelsel daftar (List System).
Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk
mencapai mayoritas di parlemen. Dalam system pemerintahan parlementer, hal ini
mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena harus mendasarkan diri
pada koalisi.
5.
Periodesasi Sistem Pemiluu Indonesia
a.
Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktober
1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun
1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Pada waktu
sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya
sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara. Pada
pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih
anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota
Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah
sistem proporsional.
Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena
merupakan pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung
secara demokratis, tidak ada pembatasan partai, dan tidak ada usaha interversi
dari pemerintah terhadap partai-partai sekalipun kampanye berlangsung seru,
terutama antara Masyumi dan PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar dan
jujur.
Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai
perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas politik yang
diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang
memerinth selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun
ternyata tidak kompak dalam menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan
konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu
tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan
yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak
kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait dengan
konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
b.
Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang
kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno mengurangi jumlah partai
menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI, Masyumi,NU,PKI, Partai Katolik,
Partindo,Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan Partai Islam, kemudian ikut dalam
pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman demokrasi terpimpintidak diadakan
pemilihan umum.
c.
Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi
otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu
sistem politik yang demokratis dan stabil. Salah satu caranya ialah melalui
sistem pemilihan umum. pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem
proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di
Indonesia masih sangat baru.
Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan
bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah
tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan
untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya
jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah
akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di
bidang ekonomi.
Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat
ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistem
proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada
distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi
dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR dan presiden tidak
dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi
fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha
untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak diperbolehkan. Dengan
demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi.
Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik
ini. Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan
konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai menjadi tiga
telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut selera dan
pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah sipemilih
benar-benar mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang
menjadi pedomannya. Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan
golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde dan hal
itu patut dihargai.
Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan
umum, Presiden Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai
kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi
diantara partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu
Golongan Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar).
Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam
perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
d. Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa
perubahan fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya
partai politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru. Kedua, pada pemilu
2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah indonesiadiadakan pemilihan presiden
dan wakil presiden dipilih melaluiMPR. Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk
suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan
daerah secara khusus. Keempat, diadakannya “electoral thresold “ , yaitu ketentuan
bahwa untuk pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah
kursi anggota badan legislatif pusat.
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu
DPD ( dewan perwakilan daerah ). Untuk itu pemilihan umum anggota DPD digunakan
Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak ( 4 kursi untuk setiap propinsi).
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan system proposional dengan daftar
terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada
calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan melalui MPR lagi.
6.
Asas-asas Pemilihan Umum
Meskipun Undang-Undang Politik tentang Pemilihan Umum (UU
Pemilu) dari Pemilu ke Pemilu beberapa kali mengalami perubahan, perubahan itu
ternyata tidak bersifat mendasar. Secara
umum, asas-asas dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia dapat digambarkan sebagai
berikut :
a)
Langsung, yaitu rakyat sebagai
pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung, sesuai dengan
kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b)
Umum, yaitu pada dasarnya semua
warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang berhak
mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
c)
Bebas, yaitu setiap warga negara
yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari
pihak manapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin
keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nuarani dan
kepentingannya.
d)
Rahasia, yaitu dalam memberikan
suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak
manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara
tanpa dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
e)
Jujur, yaitu setiap penyelenggara
Pemilu, aparat pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu,
pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f)
Adil, yaitu setiap pemilih dan
peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
mana pun.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap sebagai
lambang dan tolak ukur demokrasi. Pemilu yang terbuka, bebas berpendapat dan
bebas berserikat mencerminkan demokrasi walaupun tidak beguitu akurat.
Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam ilmu politik dikenal berbagai macam
sistem pemilu dengan berbagai variasi, tetapi umumnya berkisdar pada dua
prinsip pokok, yaitu : sistem distrik dan sistem proprosional.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang
surut dalam sistem pemilu. Dari pemilu terdahulu hingga sekarang dapat
diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok
untuk Indonesia . sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi parlementer, terpimpin,
pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu itulah Indonesia telah banyak
mengalami transformasi politik dan sistem pemilu.
2.
Saran
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan
politik Indonesia semakin kompleks. Diharapkan dengan semakin banyaknya
pengalaman dan perkembangan politik Indonesia dapat menciptakan stabilitas
nasional. Tugas pembangunan kehidupan politik pada masa yang akan datang bukan
hanya tugas partai politik saja, tetapi semua elemen pemerintahan dan tidak
ketinggalan masyarakat juga harus ikut berpartisipasi mengembangkan
perpolitikan di Indonesia. Manejemen dan kepemimpinan juga haruis terus
ditingkatkan, ongkos politik yang tidak terlalu mahal dan transparansi terhadap
publik harus dekembangkan dan ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara agar stabilitas nasional dan politik kita semakin kokoh.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik
(edisi revisi), Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008
Prihatmoko dkk, Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta,
2008
Internet/Website
http://sensorku.blogspot.com/2013/10/makalah-tentang-pemilu.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar