Rabu, 13 September 2017

MAKALAH PEMILIHAN UMUM



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari sebuah demokrasi. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan
umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan politikdalam proses pemilihan umum. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis makalah (papers) ini, selain sebagai pemenuhan tugas sistem politik indonesia. Dalam perkembangan kehidupan politiknya, indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan umumbaik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat ( walaupun tidak semuanya bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan politik.


2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Apakah yang dimaksud dengan pemilihan umum?
2)      Apa itu sistem pemilihan umum?
3.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan pemilihan umum.
2)      Untuk mengetahi apa itu sistem pemilihan umum
3)      Untuk mengetahui jalannya sistem pemilihan umum di Indonesia
4)      Untuk mengetahui sistem pemilihan umum yang cocok di terapkan di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pemilihan Umum
Salah satu wujud demokrasi adalah dengan Pemilihan Umum. Dalam kata lain, Pemilu adalah pengejawantahan penting dari “demokrasi prosedural”. Berkaitan dengan ini, Samuel P. Huntington dalam Sahid gatara (2008: 207) menyebutkan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka pimpin. Selain itu, Pemilu sangat sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau “demokrasi subtansial”, yakni demokrasi dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi.
Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Secara sederhana, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam pemilihan umum, biasanya para kandidat akan melakukan kampanye sebelum pemungutan suara dilakukan selama selang waktu yang telah dientukan. Dalam kampanye tersebut para kandidat akan berusaha menarik perhatian masyarakat secara persuasif, menyatakan visi dan misinya untuk memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

2.      Tujuan Pemilihan Umum
Tujuan diselenggarkannya Pemilihan Umum adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan dari rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
3.      Manfaat Pemilu
Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu,sistem dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

4.      Sistem Pemilihan Umum
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem Pemilihan Umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi pada umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
a.      Sistem Distrk
Sistem ini merupakan sistem pemilihan umum yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang di dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak dikatakan pemenang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecilnya selisih kekalahannya.
1)      Keuntungan Sistem Distrik ·
Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang- kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accord.
Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan denga konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya.
Bagi partai besar system ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian, sedikit banyak partai pemenang dapat mengendalikan parlemen.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. hal ini mendukung stabilitas nasional.
Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.
2)      Kelemahan Sistem Distrik
System ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
b.      Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem proporsional
Sistem ini dianut oleh Indonesia. Pemilu tidaklah langsung memilih calon yang didukungnya, karena para calon ditentukan berdasarkan nomor urut calon-calon dari masing- masing parpol atau organisasi social politik (orsospol). Para pemilih adalah memilih tanda gambar atau lambing sustu orsospol. Perhitungan suara untuk menentukan jumlah kursi raihan masing-m,asing orsospol, ditentukan melalui pejumlahan suara secara nasional atau penjumlahan pada suatu daerah (provinsi). Masing-masing daerah diberi jatah kursi berdasarkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di daerah yang bersagkutan.
Banyak atau sedikitnya kursi yang diraih adalah ditentukan oleh jumlah suara yang diraih masing-masing parpol atau orsospol peserta pemilihan umum. Calon terpilih untuk menjadi wakil rakyat duitenukan berdasarkan nomor urut calon yang disusun guna mewakili orsospol pada masing-masing daerah. Inilah yang disebut perhitungan suara secara proporsional, bukan menurut distrik pemilihan (yang pada setiap distrik hanya aka nada satu calon yang terpilih).
1)      Keuntungan sistem proporsional
Dianggap lebih representative karena persentase perolehan suara setiap partai sesuai dengan persentase perolehan kursinya di parlemen. Tidak ada distorsi antara perolehan suara dan perolehan kursi.
Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Karena itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada system ini.
2)      Kelemahan
Kurang mendorong partai-partai yang berintegrasi satu sama lain, malah sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka. Bertambahnya jumlah partai dapat menghambat proses integrasi diantara berbagai golongan di masyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini mempermudah fragmenrasi dan berdirinya partai baru yang pluralis.
Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituennya, tetapi lebih erat dengan partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya, system ini member kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya di parlemen melaluin Stelsel daftar (List System).
Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai mayoritas di parlemen. Dalam system pemerintahan parlementer, hal ini mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena harus mendasarkan diri pada koalisi.

5.      Periodesasi Sistem Pemiluu Indonesia
a.      Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktober 1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung secara demokratis, tidak ada pembatasan partai, dan tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai sekalipun kampanye berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar dan jujur.
Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas politik yang diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerinth selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun ternyata tidak kompak dalam menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
b.      Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI, Masyumi,NU,PKI, Partai Katolik, Partindo,Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan Partai Islam, kemudian ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman demokrasi terpimpintidak diadakan pemilihan umum.
c.       Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu sistem politik yang demokratis dan stabil. Salah satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum. pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru.
Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.
Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi.
Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini. Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah sipemilih benar-benar mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang menjadi pedomannya. Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde dan hal itu patut dihargai.
Karena gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu Golongan Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
d.      Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru. Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melaluiMPR. Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakannya “electoral thresold “ , yaitu ketentuan bahwa untuk pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat.
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu DPD ( dewan perwakilan daerah ). Untuk itu pemilihan umum anggota DPD digunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak ( 4 kursi untuk setiap propinsi). Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan system proposional dengan daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan melalui MPR lagi.

6.      Asas-asas Pemilihan Umum
Meskipun Undang-Undang Politik tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dari Pemilu ke Pemilu beberapa kali mengalami perubahan, perubahan itu ternyata tidak bersifat mendasar. Secara umum, asas-asas dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut :
a)      Langsung, yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung, sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b)     Umum, yaitu pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
c)      Bebas, yaitu setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nuarani dan kepentingannya.
d)     Rahasia, yaitu dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara tanpa dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
e)      Jujur, yaitu setiap penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f)       Adil, yaitu setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.








BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap sebagai lambang dan tolak ukur demokrasi. Pemilu yang terbuka, bebas berpendapat dan bebas berserikat mencerminkan demokrasi walaupun tidak beguitu akurat. Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam ilmu politik dikenal berbagai macam sistem pemilu dengan berbagai variasi, tetapi umumnya berkisdar pada dua prinsip pokok, yaitu : sistem distrik dan sistem proprosional.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang surut dalam sistem pemilu. Dari pemilu terdahulu hingga sekarang dapat diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia . sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi parlementer, terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu itulah Indonesia telah banyak mengalami transformasi politik dan sistem pemilu.
2.      Saran
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan kehidupan politik Indonesia semakin kompleks. Diharapkan dengan semakin banyaknya pengalaman dan perkembangan politik Indonesia dapat menciptakan stabilitas nasional. Tugas pembangunan kehidupan politik pada masa yang akan datang bukan hanya tugas partai politik saja, tetapi semua elemen pemerintahan dan tidak ketinggalan masyarakat juga harus ikut berpartisipasi mengembangkan perpolitikan di Indonesia. Manejemen dan kepemimpinan juga haruis terus ditingkatkan, ongkos politik yang tidak terlalu mahal dan transparansi terhadap publik harus dekembangkan dan ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar stabilitas nasional dan politik kita semakin kokoh.






DAFTAR PUSTAKA
Buku 
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Gramedia Pustaka                   Utama, Jakarta, 2008
Prihatmoko dkk, Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai, Pustaka Pelajar,                Yogyakarta, 2008
Internet/Website
http://sensorku.blogspot.com/2013/10/makalah-tentang-pemilu.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar