KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami
haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan Makalah yang berjudul “
Peranan Orang Tua dalam Pembentukan Karakter Anak ”. Meskipun banyak hambatan
yang kami alami dalam pengerjaan, tapi kami berhasil menyelesaikan karya tulis
ilmiah ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami ucapkan terima
kasih kepada guru Bahasa Indonesiayan telah membantu kami dalam mengerjakan
Makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu kamidalam penyelesaian tugas ini.
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya Makalah
ini. Kami berharap semoga Makalah ini bisa bermanfaat bagi kami dan para
pembaca.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar belakang masalah................................................................. 1
2.
Rumusan masalah ........................................................................ 2
3.
Tujuan penulisan makalah............................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Fungsi Keluarga.............................................................................. 3
B.
Pengaruh Keluarga Terhadap
Perkembangan Karakter Anak......... 7
C.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Bagi Anak................................... 9
D.
Orang Tua Mengerti Lingkungan Yang
Baik Untuk Anak............. 13
BAB II PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................... 22
B.
Saran............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Lingkungan merupakan tempat dimana
seorang anak tumbuh dan berkembang, sehingga lingkungan banyak berperan dalam
membentuk kepribadian dan karakter seseorang. Bagi kebanyakan anak, lingkungan
keluarga merupakan lingkungan ini yang mempengaruhi perkembangan anak, setelah
itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini
yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Setiap keluarga selalu
berbeda dengan keluarga lainnya, dalam hal ini yang berbeda misalnya cara didik
keluarga, keadaan ekonomi keluarga. Setiap keluarga memiliki sejarah
perjuangan, nilai-nilai, dan kebiasaan yang turun temurun yang secara tidak
sadar akan akan membentuk karakter anak.
Pengaruh
keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang
gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh dengan
konflik atau tidak bahagia. Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan fungsi
keluarga mereka benar-benar aman, nyaman bagi anak-anak mereka. Rumah adalah
surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja
tercukupi lahir dan bathinnya.
Dari
beberapa paparan tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa pendidikan dalam
keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak karena pertama kalinya mereka
mengenal dunia terlahir dalam lingkungan keluarga dan dididik oleh orang tua.
Sehingga pengalaman masa anak-anak merupakan faktor yang sangat penting bagi
perkembangan selanjutnya, keteladanan orang tua dalam tindakan sehari-hari akan
menjadi wahana pendidikan moral bagi anak, membentuk anak sebagai makhluk
sosial, religius, untuk menciptakan kondisi yang dapat menumbuh kembangkan
inisiatif dan kreativitas anak. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa peran kelurga sangat besar sebagai penentu terbentuknya moral
manusia-manusia yang dilahirkan.
1
- RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan diatas, pokok permasalahan yang saya angkat
adalah
:
1. Apa fungsi keluarga?
2. Bagaimana pengaruh keluarga terhadap
perilaku moral anak?
3. Bagaimana peran keluarga terhadap
pembentukan karakter anak?
- TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Berdasarkan rumusan masalah diatas
penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan mengenai fungsi keluarga
2. Menjelaskan mengenai pengaruh
keluarga terhadap perkembangan karakter seorang anak.
3. Menjelaskan peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak.
4. Untuk
mengerti pentingnya pendidikan karakter bagi anak .
5. Agar orang
tua dapat mengerti lingkungan yang baik untuk anak.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi Keluarga
Menurut Munandar (1985), pengertian
keluarga dapat dilihat dalam arti kata yang sempit, sebagai keluarga inti yang
merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan
pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak
mereka. Sedangkan keluarga dalam arti kata yang lebih luas misalnya keluarga
RT, keluarga komplek, atau keluarga Indonesia.
keluarga adalah merupakan lingkungan
pendidikan pertama bagi anak. Di lingkungan keluarga pertama-tama anak mendapat
pengaruh, karena itu keluarga merupakan lembaga pendidikan tertinggiyang
bersifat informal dan kodrat. Pada keluarga inilah anak mendapat asuhan dari
orang tua menuju ke arah perkembangannya.
Keluarga menjalankan peranannya
sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang
anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan
anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat
ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan
untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku
yang menyimpang. Selain sebagai tempat berlindung, keluarga juga memiliki
fungsi sebagai berikut:
- Mempersiapkan anak-anak bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi).
- Mengusahakan terselenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi), sehingga keluarga sering disebut unit produksi.
- Melindungi anggota keluarga yang tidak produksi lagi (jompo).
- Meneruskan keturunan (reproduksi).
Atau secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Ada beberapa fungsi yang dapat
dijalankan keluarga, sebagai berikut :
- Fungsi biologis
- Untuk meneruskan keturunan.
- Memelihara dan membesarkan anak.
- Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
- Memelihara dan merawat anggota keluarga.
3
- Fungsi Psikologis
1.
Memberikan
kasih sayang dan rasa aman.
2.
Memberikan
perhatian diantara anggota keluarga.
3.
Membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
4.
Memberikan
Identitas anggota keluarga.
3. Fungsi Sosialisasi
1.
Membina
sosialisasi pada anak.
2.
Membentuk
norma-norma perilaku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
3.
Meneruskan
nilai-nilai budaya keluarga.
4. Fungsi Ekonomi
1.
Mencari
sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2.
Pengaturan
penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
3.
Menabung
untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang,
misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua, dsb.
5. Fungsi Pendidikan
a. Menyekolahkan anak untuk memberi pengetahuan, keterampilan
dan membentuk perilaku anak sesuai bakat dan minat yang dimilikinya.
b. Mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan dewasa yang akan
datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Ahli
lain membagi fungsi keluarga, sebagai berikut :
1. Fungsi Pendidikan : Dalam hal ini
tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan
kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa.
2. Fungsi Sosialisasi anak : Tugas
keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan
anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
4
3. Fungsi Perlindungan: Tugas keluarga
dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik
sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4. Fungsi Perasaan : Tugas keluarga
dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif merasakan perasaan dan
suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam
menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5. Fungsi Religius : Tugas keluarga
dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota
keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk
meyakinkan bahwa ada kehidupan lain setelah dunia ini.
6. Fungsi Ekonomis
Tugas
kepala keluarga dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam
memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk
mencari penghasilan, mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga.
7. Fungsi Rekreatif
Tugas
keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi,
tetapi yang penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam
keluarga sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama,
bercerita tentang pengalaman masing-masing, dsb.
8. Fungsi Biologis
Tugas
keluarga yang utama dalam hal ini adalah untuk meneruskan keturunan sebagai
generasi penerus.
Menurut
Kingslet Davis menyebutkan bahwa fungsi keluarga ialah sebagai berikut :
- Reproduction, yaitu menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem sosial yang bersangkutan.
- Maintenance, yaitu perawatan dan pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
5
- Placement, memberi posisi sosial kepada setiap anggotanya, baik itu posisi sebagai kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga, atau pun posisi-posisi lainnya.
- Sosialization, pendidikan serta pewarisan nilai-nilai sosial sehingga anak-anak kemudian dapat diterima dengan wajar sebagai anggota masyarakat.
- Economics, mencukupi kebutuhan akan barang dan jasa dengan jalan produksi, distribusi, dan konsumsi yang dilakukan di antara anggota keluarga.
- Care of the ages, perawatan bagi anggota keluarga yang telah lanjut usianya.
- Political center, memberikan posisi politik dalam masyarakat tempat tinggal.
- Physical protection, memberikan perlindungan fisik terutama berupa sandang, pangan, dan mperumahan bagi anggotanya.
Bila seorang
anak dibesarkan pada keluarga pembunuh, maka ia akan menjadi pembunuh. Bila
seorang anak dibesarkan melalui cara-cara kasar, maka ia akan menjadi
pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak dibesarkan pada keluarga yang penuh
cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi cemerlang yang memilki
budi pekerti luhur. Keluarga sebagai tempat bernaung, merupakan wadah penempaan
karakter individu.
Pada masa
sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah karena terjadi perubahan sosial,
politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya
anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam
pendidikan. Tidak seperti fungsi keluarga pada masa lalu yang merupakan
kesatuan produktif sekaligus konsumtif. Ketika kebijakan ekonomi pada zaman
modern sekarang ini mendasarkan pada aturan pembagian kerja yang
terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung jawab keluarga
beralih kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu.
Uraian
tersebut cukup menjelaskan apa arti keluarga yang sesungguhnya. Keluarga bukan
hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Lebih dari itu,
keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral serta penempaan karakter
manusia. Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menjalani hidup bergantung
pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam menanamkan ajaran moral
kehidupan. Keluarga lebih dari sekedar pelestarian tradisi, kelurga bukan hanya
menyangkut hubungan orang tua dengan anak, keluarga merupakan wadah mencurahkan
segala inspirasi. Keluarga menjadi tempat pencurahan segala keluh kesah.
Keluarga merupakan suatu jalinan cinta kasih yang tidak akan pernah terputus.
6
B. Pengaruh /
Peran Keluarga Terhadap Perkembangan Karakter Seorang Anak
Menurut Papalia dan Old (1987), masa
anak-anak dibagi menjadi lima tahap yaitu :
1. Masa Prenatal, yaitu diawali dari
masa konsepsi sampai masa lahir.
2. Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia
18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan pertama
kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai
tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada
penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian.
3. Masa kanak-kanak pertama, yaitu
rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah.
4. Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia
6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa sekolah.
5. Anak-anak telah mampu menerima
pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya.
6. Masa remaja, yaitu rentang usia
12-18 tahun. Saat anak mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan
waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari
kungkungan orang tua.
Peran kedua orang tua dalam
mewujudkan kepribadian anak antara lain:
1.
Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak
mendapatkan cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada
saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka
akan bisa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua
orang tua terlalu ikut campur dalam urusan mereka atau mereka memaksakan
anak-anaknya untuk menaati mereka, maka perilaku kedua orang tua yang demikian
ini akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka.
2.
Kedua orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan
ketenangan jiwa anak-anak. Karena hal ini akan menyebabkan pertumbuhan potensi
dan kreativitas akal anak-anak yang pada akhirnya keinginan dan Kemauan mereka
menjadi kuat dan hendaknya mereka diberi hak pilih.
3.
Saling menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak. Hormat di sini
bukan berarti bersikap sopan secara lahir akan tetapi selain ketegasan kedua
orang tua, mereka harus memperhatikan keinginan dan permintaan alami dan fitri
anak-anak.
7
Saling menghormati artinya dengan
mengurangi kritik dan pembicaraan negatif sekaitan dengan kepribadian dan
perilaku mereka serta menciptakan iklim kasih sayang dan keakraban, dan pada
waktu yang bersamaan kedua orang tua harus menjaga hak-hak hukum mereka yang
terkait dengan diri mereka dan orang lain. Kedua orang tua harus bersikap tegas
supaya mereka juga mau menghormati sesamanya.
4.
Mewujudkan kepercayaan. Menghargai dan memberikan kepercayaan terhadap
anak-anak berarti memberikan penghargaan dan kelayakan terhadap mereka, karena
hal ini akan menjadikan mereka maju dan berusaha serta berani dalam bersikap.
Kepercayaan anak-anak terhadap dirinya sendiri akan menyebabkan mereka mudah
untuk menerima kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri mereka. Mereka
percaya diri dan yakin dengan kemampuannya sendiri. Dengan membantu orang lain
mereka merasa keberadaannya bermanfaat dan penting.
5.
Mengadakan perkumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak). Dengan
melihat keingintahuan fitrah dan kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu
tentang dirinya sendiri. Tugas kedua orang tua adalah memberikan informasi
tentang susunan badan dan perubahan serta pertumbuhan anak-anaknya terhadap
mereka. Selain itu kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang masalah
keyakinan, akhlak dan hukum-hukum fikih serta kehidupan manusia. Jika kedua
orang tua bukan sebagai tempat rujukan yang baik dan cukup bagi anak-anaknya
maka anak-anak akan mencari contoh lain; baik atau baik dan hal ini akan menyiapkan
sarana penyelewengan anak.
Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus mengamalkannya.
Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus mengamalkannya.
8
C. Pentingnya
Pendidikan Karakter Bagi Anak
Pentingnya pendidikan karakter di sekolah adalah untuk membantu
memaksimalkan kemampuan kognitif pada anak. Pada dasarnya, pendidikan yang
diterapkan pada sekolah-sekolah menuntut untuk dapat memaksimalkan kemampuan
dan kecakapan kognitif. Jika memandang pengertian seperti yang telah dijelaskan
di atas, ada sebuah hal yang sangat penting yang sering kali terlewatkan oleh
para guru, yaitu mengenai pendidikan karakter. Pendidikan karakter memiliki
peran yang amat penting untuk menyeimbangkan antara kemampuan kognitif dengan
kemampuan psikologis.
Mengapa perlu pendidikan
karakter?
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada
kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya.
Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai,
Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu
sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling
bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga
merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum,
2000).
Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan pada
hakekatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan
pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik (good).
Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi
menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih
sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan
bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang
mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian
menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter. Rujukan kita sebagai
orang yang beragama (Islam misalnya) terkait dengan problem moral dan
pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari kasus moral yang pernah
menimpa kedua
Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja
perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten
(isi), pendekatan dan metode kajian.
9
Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat
pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership;
International Center for Character Education). Pendidikan karakter berkembang
dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi,
filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Sebagai aspek kepribadian,
karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang:
mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat
sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun,
dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan
kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut
berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat
kontekstual dan kultural.
Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia
dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya pendidikan
karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk
menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa
membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik.
Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai
tertentu –seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil– dan
membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan mereka sendiri.
Pengertian Pendidikan Karakter
Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein,
yang berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis
kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu,
character kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya
melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat
individual, keadaan moral seseorang?. Setelah melewati tahap anak-anak,
seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter
seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Kevin Ryan,
1999: 5).
Williams
& Schnaps (1999) mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai
“any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible”.
“any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible”.
10
Maknanya dari pengertian
pendidikan karakter yaitu merupakan berbagai usaha yang dilakukan
oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama
dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan
remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan
bertanggung jawab.
Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari pengertian pendidikan karakter tersebut
awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di
Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan,
filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan,
penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan
karakter moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter
semestinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat
tersebut secara langsung.
Tujuh Alasan Perlunya Pendidikan Karakter
Menurut
Lickona ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan:
- Merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya;
- Merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik;
- Sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain;
- Mempersiapkan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam;
- Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah;
- Merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja; dan
- Mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari kerja peradaban.
Bagaimana Mendidik Aspek Karakter?
Pendidikan bukan sekedar berfungsi sebagai media untuk
mengembangkan kemampuan semata, melainkan juga berfungsi untuk membentuk
watak dan peradaban bangsa yang bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan
watak (karakter) tidak bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. 11
Oleh karena itu,
sebagai fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk
membentuk watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi
dari peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari
semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik).
Secara umum materi tentang pendidikan karakter
dijelaskan oleh Berkowitz, Battistich, dan Bier (2008: 442) yang melaporkan
bahwa materi pendidikan karakter sangat luas. Dari hasil penelitiannya
dijelaskan bahwa paling tidak ada 25 variabel yang dapat dipakai sebagai
materi pendidikan karakter. Namun, dari 25 variabel tersebut yang paling
umum dilaporkan dan secara signifikan hanya ada 10, yaitu:
- Perilaku seksual
- Pengetahuan tentang karakter (Character knowledge)
- Pemahaman tentang moral sosial
- Ketrampilan pemecahan masalah
- Kompetensi emosional
- Hubungan dengan orang lain (Relationships)
- Perasaan keterikan dengan sekolah (Attachment to school)
- Prestasi akademis
- Kompetensi berkomunikasi
- Sikap kepada guru (Attitudes toward teachers).
Otten (2000) menyatakan bahwa pendidikan karakter yang
diintegrasikan ke dalam seluruh masyarakat sekolah sebagai suatu strategi
untuk membantu mengingatkan kembali siswa untuk berhubungan dengan
konflik, menjaga siswa untuk tetap selalu siaga dalam lingkungan
pendidikan, dan menginvestasikan kembali masyarakat untuk berpartisipasi
aktif sebagai warga negara.
Peran Konselor dalam Pendidikan
Karakter di Sekolah
Jika pendidikan karakter diselenggarakan di sekolah
maka konselor sekolah akan menjadi pioner dan sekaligus koordinator
program tersebut. Hal itu karena konselor sekolah yang memang secara
khusus memiliki tugas untuk membantu siswa mengembangkan kepedulian sosial
dan masalah-masalah kesehatan mental,
12
Konselor sekolah harus mampu melibatkan semua pemangku
kepentingan (siswa, guru bidang studi, orang tua, kepala sekolah) di dalam
mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai dari program pelayanan dasar
yang berupa rancangan kurikulum bimbingan yang berisi materi tentang
pendidikan karakter, seperti kerja sama, keberagaman, kejujuran, menangani
kecemasan, membantu orang lain, persahabatan, cara belajar, menejemen
konflik, pencegahan penggunaan narkotika, dan sebagainya. Program
perencanaan individual berupa kemampuan untuk membuat pilihan, pembuatan
keputusan, dan seterusnya. Program pelayanan responsif yang antara
lain berupa kegiatan konseling individu, konseling kelompok.
D. Orang Tua Dapat Mengerti Lingkungan Yang Baik Untuk
Anak.
Seorang anak tentunya tidak langsung dapat mengenal alam
sekitar mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan
pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan di masyarakat.
Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting dalam pembangunan
mental dan karakteristik sang anak. Di dalam keluarga, anak belajar dan
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang terjadi bersifat dekat
dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya, dan
sebaliknya apa yang didapati anak dari keluarganya akan mempengaruhi
perkembangan jiwa, tingkah laku, cara pandang dan emosinya. Dengan demikian
pola asuh yang diterapkan orang tua dalam keluarganya memegang peranan penting
bagi proses interaksi anak di lingkungan masyarakat kelak.
“Kehidupan keluarga yang senantiasa dibingkai dengan
lembutnya cinta kasih dan nuansa yang harmonis, dari sana akan hadirlah
individi-individu dengan tumbuh kembang yang wajar sebagaimana diharapkan.
Sebaliknya keluarga yang dinding kehidupannya dipahat dengan sentakan-sentakan,
broken home, broken heart, perlakuan sadis dan kekejaman tercerai
berainya benang-benang kasih sayang dan jalinan cinta, maka keluarga beginilah
yang bakal alias cikal bakal menjadi suplayer limbah-limbah kehidupan sosial
dan sampah-sampah masyarakat yang menyedihkan.
Tidak dapat dipungkiri, jika dasar pendidikan yang menjadi
landasan dan tongkat estafet pendidikan anak selanjutnya adalah pendidikan
keluarga. Apabila pondasi pendidikan dibangun dengan kuat maka pembangunan
pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil dengan baik, sebaliknya jika
pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit kiranya membangun pendidikan
selanjutnya.
13
Gilbert Highest dalam Jalaludin mengatakan bahwa: kebiasaan
yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.
Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak
menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga (Gilbert
Highest, 1961: 78).
Dari apa yang diungkapkan Gilbert, kita dapat mengetahui
memang pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dari keluarga,
bagaimana orang tua berprilaku akan selalu menjadi perhatian anak, dan akan
ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan fitrahnya. Jika pendidikan yang
baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal baik yang dapat ditiru anak
tersebut dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak yang dididik dengan cemoohan
dan ejekan dari setiap kegagalan yang ia dapati, maka anak tersebut akan selalu
hidup dalam ketakutan dan kegelisahan disebabkan hasil perbuatannya yang tidak
memuaskan orang tuanya.
Dalam keluarga, seorang anak akan mendapati hal-hal yang
tidak didapati di lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat, seperti
perhatian yang penuh, kasih sayang, belaian hangat kedua orang tua dan banyak
hal lain lagi. Berbeda dengan lingkungan sekolah dan masyarakat, keluarga
menjadi motor penggerak keberhasilan anak dalam mencapai inspirasi
peergaulannya dengan teman-temannya serta lingkungan masyarakat sekitar. Orang
tua yang menanamkan rasa kasih sayang dalam keluarga akan menimbulkan
keharmonisan dalam interaksi dengan sang anak. Segala permasalahan yang
dijumpai anak akan mudah diketahui melalui pendekatan secara personal.
Seorang anak akan merasa termotivasi jika hasil jerih payah
dan prestasinya dihargai orang tua, sehingga keharmonisan hubungan keduanya
memiliki peranan penting dalam perkembangan anak tersebut dalam peningkatan
prestasi belajar. Akan tetapi terkadang kita jumpai orang tua yang memaksakan
kehendaknya agar anak dapat memenuhi keinginan orang tuanya itu. Hal ini akan
menimbulkan rasa keterpaksaan pada diri anak baik dalam bidang prestasi, tugas
maupun kewajibannya. Rasa keterpaksaan itu akan mengakibatkan timbulnya rasa
malas dan mematikan rasa kesadaran diri dalam berbuat. Banyak kita dapati
seorang anak takut gagal dalam berprestasi, sebab dampak yang akan didapati
dari kegagalannya berupa hukuman maupun siksaan dari orang tuannya. Bagi sebagian
anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang tuannya, berprestasi adalah
sesuatu hal yang tidak penting baginya sebab segala tindakan yang ia lakukan
tidak pernah dihiraukan oleh orang tuanya, sehingga berprestasi ataupun tidak
merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa saja.
14
Syamsu Yusuf mengatakan: “Keluarga yang fungsional ditandai
oleh karakteristik: (a) saling memperhatikan dan mencintai (b) bersikap
terbuka (c) orang tua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya dan
menghargai pendapatnya (d) ada “sharing” masalah atau pendapat diantara
anggota keluarga (e) mampu berjuang mengatasi hidupnya (f) saling
menyesuaikan diri dan mengakomodasi (g) orang tua melindungi/mengayomi anak (h)
komunikasi antara anggota keluarga berlangsung dengan baik (i) keluarga
memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya (j) mampu
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam keluarga
terjadi proses interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan
pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut seperti mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kematangan sesuai yang
diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu memberikan dampak dalam mewarnai
setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk prilaku tertentu pada anak, seperti
prilaku agresif yang sering terjadi.
Keharmonisan dan rasa demokrasi tidak selalu seperti yang
kita harapkan, hingga saat sekarang ini masih banyak orang tua yang menerapkan
kekerasan dalam mendidik anaknya. Mereka beranggapan pendidikan yang keras akan
dapat mewujudkan keinginan dan harapannya, seperti prestasi, budi pekerti dan
lain-lain. Namun sebaliknya kenyataan yang kita jumpai justru bertolak belakang
dengan harapan-harapan yang diinginkan. Anak yang dididik keras akan timbul
rasa tertekan dan takut, ada juga anak yang diberi kebebasan sehingga anak
tersebut malas dan enggan untuk mencapai prestasi yang lebih baik, sebab tidak
adanya perhatian dan tanggapan dari orang tuannya atas apa yang yang diraihnya.
Pola Asuh
Pola
asuh berasal dari kata pola dan asuh. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
kata pola mempunyai arti gambar yang dipakai untuk contoh batik; corak batik
atau tenun; ragi atau suri; potongan kertas yang dipakai model; sistem; cara
kerja; – permainan – pemerintahan, bentuk struktur yang tetap- kalimat; dalam
puisi, adalah sajak yang dinyatakan dengan bunyi gerak kata atau arti.
Sedangkan Asuh berarti menjaga merawat dan mendidik anak kecil;
membimbing membantu dan melatih, dsb; memimpin mengepalai, menyelenggarakan
suatu badan atau kelembagaan.
15
Kegiatan pengasuhan banyak diartikan sebagai usaha dalam
mendidik anak. Orang tua sebagai pendidik memilih pola asuh yang sesuai dalam
mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada kehidupan yang layak
dan bermartabat. Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis dalam mencari bentuk
atau pola asuh yang lebih efektif dan baik. Banyak para ahli mengemukakan
definisi dan bentuk-bentuk pola asuh yang tepat. Laurrence Steinburg
mendefinisikan; Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang sesuai dengan
kondisi psikologis dengan unsur-unsur seperti kejujuran, empati, mengendalikan
diri sendiri, kebaikan hati, kerja sama, pengendalian diri, dan kebahagiaan.
Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang membantu anak berhasil di sekolah,
mendukung perkembangan keingintahuan intelektual, motivasi belajar, dan
keinginan untuk mencapai sesuatu. Pengasuhan yang baik adalah yang menjauhkan
anak dari prilaku anti sosial, melakukan pelanggaran hukum ringan, serta
pemakaian narkoba dan alkohol. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang
membantu melindungi anak dari berkembangnya keresahan, depresi, gangguan makan
dan berbagai masalah psikologi lain.
Secara umum dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengasuhan adalah kegiatan dalam rangka mendidik, membimbing, mengarahkan
anak, baik secara fisik maupun mental, keyakinan hidup dan moral. Dalam hal ini
ayah dan ibu memiliki peran sebagai seorang pendidik dalam lingkungan keluarga
dalam upaya mengarahkan anak dalam prilaku dan norma-norma yang baik.
Tingkah laku orang tua selalu menjadi tolak ukur anak dalam
proses pendidikan dalam keluarga. Anak akan meniru orang tua dalam bersikap dan
berprilaku baik hal tersbut disadari ataupun tidak. Semenjak dilahirkan ke
dunia, anak akan meniru prilaku orang tua dan tak ada yang dapat dilakukan
orang tua untuk mencegah hal tersebut. Kecenderungan seorang anak menirukan
segala sesuatu yang muncul dari prilaku orang tua disebabkan karena mereka
memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh berkembang menjadi seperti ibu dan
ayahnya. Tidak jarang kita jumpai orang tua yang melarang anaknya
bertindak agresif, namun tidak disadari orang tua tersebut melakukannya
sehingga tidak menutup kemungkinan anak itu melakukan tindakan yang sama pada
teman atau pun keluarga yang lain.
Tugas mendidik dan mengasuh anak tidak sepenuhnya dapat
dilaksanakan dalam keluarga, seperti pendidikan ketrampilan, pengetahuan,
wawasan dan pengalaman. Oleh sebab itu keluarga membutuhkan lembaga pendidikan
lain yaitu pendidikan sekolah.
16
Dengan demikian pendidikan di sekolah merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari pendidikan keluarga. Pendidikan di sekolah juga
merupakan penghubung antara kehidupan anak dalam keluarga dan kehidupan di
masyarakat.
Akan tetapi masuknya anak ke pendidikan sekolah tidak
berarti orang tua telah selesai dalam pengasuhan, justru sekolah menjadi mitra
bagi orang tua dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang ada seiring
kegiatan pengasuhan tersebut. Orang tua akan menjadi lebih yakin dan mantap
dalam mengikuti perkembangan anaknya. Rasa yang sama juga akan muncul pada diri
anak seiring keikutsertaan orang tua dalam pendidikan sekolah. Hal penting yang
dapat dilihat dari keikutsertaan orang tua dalam pendidikan sekolah adalah
orang tua dapat mengetahui segala bentuk permasalahan anak di sekolah sehingga
dapat bekerjasama dengan guru untuk menyelesaikannya.
Keterlibatan orang tua dalam sekolah bukan hanya dengan ikut
membantu anak dalam mengerjakan tugas rumahnya, melainkan lebih pada hubungan
wali siswa-sekolah, baik pada komite sekolah, bimbingan penyuluhan atau hal-hal
yang berkenaan dengan pendidikan anak di sekolah. Perhatian orang tua terhadap
anak dapat diwujudkan dengan membangun kebiasaan bekerja secara teratur dan
disiplin pada setiap tugas dan kewajiban sebagai seorang siswa.
Adapun dalam lingkungan masyarakat, pergaulan dengan
teman-teman sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada prilaku anak. Orang tua
hendaknya dapat memberikan perhatian yang baik pula. Pada masa kecil orang tua
dapat mengatur pergaulan anak dan mengarahkannya kepada teman-teman yang
dianggap baik. Begitu pula pada masa remaja orang tua dapat mengarahkan agar
bergaul dengan anak-anak yang telah jelas memiliki latar belakang baik dan
prilkau yang baik pula.
Adapun
pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga pola:
1. Pola
Asuh Otoriter
2. Pola
Asuh Permisip
3. Pola
Asuh Demokrasi
Pola
Asuh Otoriter (PAO)
Setiap orang tua pastilah menghendaki anaknya menjadi orang
yang berguna dan mencapai kebahagiaan kelak. Akan tetapi dalam mengasuh tidak
jarang kita mendapati orang tua yang mengambil langkah dan sikap yang otoriter
dalam mendidik anaknya.
17
Seringkali orang tua
lebih mengedepankan kuatnya keinginan dan cita-cita agar anak meraih
keberhasilan di masa datang. Mereka selalu berfikir apa yang meraka lakukan
semata-mata demi kebaikan sang anak dan mengesampingkan perasaan dan kondisi
anak tersebut.
Pola asuh otoriter juga sangat berpengaruh pada perkembangan
mental anak. Orang tua memiliki kebutuhan kuat untuk memegang kendali, namun
pada dasarnya sikap otoriter dimaksudkan untuk hal-hal yang baik. Orang tua
tidak menginginkan anaknya mengalami kegagalan, bahaya, ataupun sesuatu buruk
yang menimpanya, namun perkembangan mental anak akan terganggu, sebagaimana
diungkapkan Laurence berikut: “Pada akhirnya satu-satunya cara agar anak anda
bisa benar-benar sehat, bahagia dan sukses adalah jika anda memberikan
kebebasan untuk mencoba dan membuat keputusannya sendiri meskipun itu membuka
kemungkinan dia akan sakit hati dan kecewa. Pengasuhan yang baik melibatkan
keseimbangan antara keterlibatan dan kemandirian. Jika keduanya dilakukan
secara berlebihan- jika orang tua tidak peduli atau terlalu ikut campur- maka
kesehatan mental akan rusak.
Banyak hal negatif yang akan timbul pada diri anak akibat
sikap otoriter yang diterapkan orang tua, seperti takut, kurang memiliki
keyakinan diri, menjadi pembangkang, penentang ataupun kurang aktif. Orang tua
seperti itu selalu memberikan pengawasan berlebih pada anak sehingga hal-hal
yang kecil pun harus terlaksana sesuai keinginannya. Disisi lain, orang tua
tersebut lebih seperti polisi yang selalu memberi pengawasan dan aturan-aturan
tanpa mau mengerti anak.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa diantara hal-hal
negatif yang akan timbul adalah sikap penentang pada anak. Dari kelompok
penentang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe.
Pertama,
tipe penentang aktif. Mereka menjadi keras kepala, suka membantah dan
membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka marah karena orang tua tak
menghargai dirinya sebagai manusia. Untuk melawan jelas tak bisa karena sang
“polisi” punya kekuatan besar. Maka jalan yang dipilihnya adalah menyakiti
hatinya.
Kedua,
tipe pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa tubuh kecilnya tidak mampu
menandingi kekuatan “Polisi” yang tak lain orang tuanya sendiri mereka memilih
sikap diam, tapi tidak juga mengikuti perintah.
18
Ketiga,
tipe selalu terlambat. Anak-anak seperti itu baru mau mengerjakan suatu perintah
setelah terlebih dahulu melihat orang tuannya jengkel, marah, dan mengomel
karena kemalasannya.
Pola Asuh Permisif (PAP)
Orang tua yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita
menjadikan anaknya sebagai sampah masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin.
Namun terkadang kita masih mendapati orang tua yang rela membiarkan anaknya
tanpa bimbingan dan arahan. Anak menjadi tak terarah, dan merasa orang tuanya
telah memberikan kebebasan sepenuhnya pada dirinya, sehingga setiap keputusan
yang ia ambil adalah sepenuhnya hak priadi yang tak seorang pun dapat
mencampurinya.
Dalam pendidikan sekolah, pola asuh permisif yang diterapkan
orang tua akan memberi dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa saja
menjadi malas dan tidak peduli dengan hasil belajar yang ia raih dikarenakan
tidak adanya perhatian dari orang tua. Orang tua merasa tidak mampu memberikan
pendidikan dan pengasuhan dengan baik sehingga menyerahkan sepenuhnya
pendidikan kepada sekolah. Mereka melupakan peran penting dalam keluarga sebagai
pendidik, pengasuh, pembimbing, pemberi motivasi, kasih sayang dan perhatian.
Seorang anak yang berkembang tanpa batasan dan aturan dan
perhatian akan mengalami ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh teladan yang
berakibat pada beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau orang-orang
terdekatnya dan menjadikannya figur. Mengenai pola asuh Permisif, Diana
Braumrind dalam Syamsu Yusuf LN, menjelaskan sikap atau prilaku orang tua
sebagai berikut:
1. Sikap ”Acceptance”nya tinggi, namun
kontrolnya rendah
2. Memberi kebebasan kepada anak untuk
menyatakan dorongan/keinginannya
Profil
Prilaku Anak:
1. Bersikap Impulsif dan Agresif
2. Suka memberontak
3. Kurang memiliki rasa percaya diri
dan pengendalian diri
4. Suka mendominasi
5. Tidak jelas arah hidupnya
6. Prestasinya rendah
19
Dapat disimpulkan bahwa anak yang mendapati pengasuhan dari
orang tuanya dengan pola asuh permisif akan cinderung bersifat bebas tanpa
aturan, dan memiliki emosi yang tidak stabil dan meledak-ledak, sedangkan orang
tua tidak lagi dianggap sebagai sosok yang memiliki peran dan tauladan baginya.
Ia menganggap bahwa apa yang ia raih adalah bersumber dari pribadinya dan tidak
ada yang dapat memberikan aturan maupun larangan.
Pola Asuh Demokrasi (PAD)
Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak semestinya
didasari prinsip saling menghormati dan kasih sayang. Apabila orang tua selalu
mengedepankan pendekatan secara personal dengan curahan kasih sayang, maka akan
terbentuklah kepercayaan yang besar dalam diri anak. Anak akan bersikap terbuka
kepada orang tuanya sehingga segala permasalahan dapat dicari kunci
penyelesaianya. Selain itu orang tua lebih mudah memberi pengarahan dan nasihat
serta meninggalkan cara-cara paksaan dan intimidasi.
Prilaku anak akan terbentuk secara bertahap menuju kepada
kepribadian yang baik. Dorongan yang kuat secara terus-menerus sangat
diharapkan dari orang tua. Sosok orang tua yang demokratis tidak mengedepankan
kepentingan pribadinya, akan tetapi tetap menghargai dan memperhatikan
kepentingan anak sebagai seorang individu diantara komunitas manusia. Dengan
kata lain, orang tua selalu melihat kepentingan bersama sebagai pembatas dari
kebebasan seorang inividu.
Latar belakang pengasuhan yang didapati anak tentulah sangat
berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya, sebab hal-hal yang ia dapati
dari pola pengasuhan orang tuanya akan menjadi bekal sikap dan prilakunya pada
kehidupannya kelak.
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan
pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial budaya yang
diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi
pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Jadi, sudah jelas bahwa pola asuh demokrasi sangat memberi
dampak positif pada perkembangan anak. Orang tua dapat mencurahkan kasih sayang
dan perhatiannya kepada anak secara baik dan sepenuhnya tanpa menggunakan
cara-cara pemaksaan dan dan kekerasan. Dalam hal ini, orang tua harus menguasai
komunikasi yang tepat dalam melakukan pendekatan agar proses pengasuhan dapat
berjalan baik dan tidak mempengaruhi mental maupun perkembangannya.
20
Pola asuh demokrasi sangat mirip dengan apa yang dijelaskan
Diana Baumrind Western dan Lioyd, 1994: 359-360; Sigelmen dan Sheffer, 1995:
396 mengenai hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara terhadap siswa
taman kanak-kanak. Ia menjelaskan tentang parenting stayle Pola Asuh, diantara
tiga tipe; Authoritarian, Permissive, dan Authorotative, tipe yang yang sama
dengan pola asuh demokrasi adalah Authoritative. Beberapa sikap yang diambil
orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak yaitu:
1. Sikap “Acceptance” dan kontrolnya
tinggi
2. Bersikap responsive tehadap
kebutuhan anak
3. Mendorong anak untuk menyatakan
pendapat atau pertanyaan
4. Memberikan penjelasan tentang dampak
perbuatan yang baik dan yang buruk.
Profil
Prilaku Anak yang ditimbulkan:
1. Bersikap bersahabat
2. Memiliki rasa percaya diri
3. Mampu mengendalikan diri Self
Control
4. Bersikap Sopan
5. Mau bekerjasama
6. Memiliki rasa ingin tahunya yang
tinggi
7. Mempunyai tujuan/arah hidup yang
jelas
8. Berorientasi terhadap prestasi
Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa sikap demokratis
orang tua tercermin dari tindakannya mau menghargai pribadi anak, serta menegur
tindakan yang salah dari prilakunya secara baik-baik seperti yang dikatakan
Irawati Istadi: “Harus dibedakan antara pribadi anak dengan prilaku bisa saja
salah, tetapi pribadi anak tetap senantiasa baik.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari peran keluarga dalam mensukseskan pendidikan adalah
keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dari anak. Dimana anak mendapatkan
pendidikan sejak dalam kandungan sampai dengan mendapatkan pendidikan formal.
Dalam mensukseskan pendidikan, keluarga berperan dalam memberikan
pendampingan dan memberikan pilihan kepada anaknya untuk masalah pendidikan
yang tepat sesuai dengan karakteristik dari anak. Di samping itu, penciptaan
suasana yang nyaman dan aman dari keluarga kepada anaknya akan memberikan
motivasi keluarga kepada anak dalam menempuh pendidikannya.
B. Saran
Orang
tua merupakan panutan bagi anak-anaknya, untuk itu sebaiknya orang tua dapat
menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua juga harus membuka diri
terhadap perkembangan zaman dan teknologi saat ini. Anak-anak memiliki
pemikiran yang kritis terhadap sesuatu yang baru. Bila orang tua tidak membuka
diri terhadap perkembangan yang ada, kelak akan menuai kesulitan dalam menjawab
pertanyaan dari anak. Pada akhirnya berbuah kebohongan dan secara tidak
langsung menanamkannya pada anak.
22
DAFTAR
PUSTAKA
https://wimelimonica.wordpress.com/peran-keluarga-terhadap-perkembangan-karakter-anak/
http://shindy-intan.blogspot.co.id/2012/10/peranan-keluarga-dalam-pembentukan.html
http://www.slideshare.net/dianastandjung/pengaruh-pendidikan-keluarga-terhadap-kepribadian
23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar