Minggu, 24 Desember 2017

makalah tentang dinasti abassiyah


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekuasaan Dinasti Bani Abassiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750M) s.d. 656 H (1258 M). Dalam kurun waktu yang relatif panjang tersebut, Dinasti Bani Abbasiyah berhasil mengembangkan peradaban Islam melalui ilmu pengetahuan, sosial dan budaya. Masa keemasan ini terjadi saat perpindahan ibukota ke Baghdad sehingga di sana perkembangan ilmu pengetahuan bisa tumbuh dengan pesat.Beberapa khalifah Bani Abbasiyah juga berlatar belakang intelektual yang tinggi sehingga bisa menjadi faktor berkembangnya peradaban Islam.

Dengan situasi sudah mapan, ternyata tidak sedikit dari khalifah Bani Abbasiyah yang tergiur oleh kekuasaan.Mereka sering bertindak korupsi, berfoya – foya, serta bergaya hidup hedonisme.Sehingga tanpa di sadari, sikap seperti itu lah yang membuat kemunduruan Dinasti Bani Abbasiyah dan akhirnya runtuh.

Dalam makalah ini akan menjelaskan bagaimana awal mula berdirinya Bani Abbasiyah, serta hal apa saja yang menjadikan berkembangnya peradaban Islam. Juga faktor – faktor yang menjadikan Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan akhirnya hancur.

B. Rumusan Masalah

· Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah ?

· Bagaimana sistem pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah ?

· Apa saja yang membuat peradaban Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Bani Abbasiyah?

· Apa saja faktor – faktor yang menjadikan kemunduran Bani Abbasiyah ?

· Apa saja faktor – faktor yang menjadikan kehancuran Bani Abbasiyah ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Golongan Abbasiyah merupakan cabang dari golongan Hasyimiyah, golongan ini muncul di negara kecil yaitu Hamimah.Negeri Hamimah menjadi pusat kegiatan golongan Hasyimiyah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah yang rapi, licin, bijaksana dan pintar.

Negeri Hamimah merupakan hadiah dari kholifah Walid bin Abdul Malik kepada Ali ibn Abdulloh ibn Al – Abbas, yang terkenal sebagai seorang yang loyal dan bersahabat dengan Bani Umayah. Negeri Hamimah sebenarnya adalah negeri yang tentram dan tenang, sementara Ali Ibn Abdulloh ibn Al-Abbas juga tidak melakukan gerakan untuk meruntuhkan kekuasaan Bani Umayyah. Tetapi putera Ali, yaitu Muhammad ibn Ali berusaha melakukan gerakan, untuk meruntuhkan Bani Umayyah. [1]

Gerakan Bani Abbasiyah dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama dilakukan secara rahasia oleh Muhammad Ibn Ali mulai tahun 100-127 H. Kemudian pada tahap kedua dilakukan secara terang-terangan yaitu mulai tahun 127 H., yaitu ketika pihak Hamimah mengutus Abu Muslim al-Khurasani ke Khurasan untuk menentang Bani Umayyah. Gerakan pada fase terbuka terjadi setelah Muhammad ibn Ali meninggal dan digantikan oleh puteranya, Ibrahim ibn Imam Muhammad.

Ketika pemerintahan daulat Umayyah berada di tangan khalifah Marwan II (127-132 H./ 744-750 M.) kerusuhan dalam negeri telah mencapai puncaknya. Pukulan yang amat mengeruhkan situasi datang dari Khurasan, yaitu permusuhan sekteSyi’ah yang didukung oleh suku besar Yamani di Khurasan di bawah pimpinan Jadik ibn Ali al-Azadi (Al-Karamani) dengan suku besar Mudhori berpihak pada Amir Nashar ibn Sayyar, gubernur wilayah Khurasan yang diangkat oleh khalifah Walid ibn Yazid (743-744 M.).

Momentum yang baik itu dimanfaatkan oleh Abu Muslim al-Khurasani untuk melakukan misinya demi kepentingan Bani Abbas secara terbuka. Al-Khurasani lebih memihak kepada al-Karamani untuk melawan Nashar ibn Sayyar. Koalisi ini berhasil mengusir Nashar dari ibukota Meru dan mendudukinya. Misinya itu berhasil, sehingga para pemuka rakyat banyak menyatakan kesetiaannya, baiat terhadap Ibrahim ibn Imam dan para perutusan Bani Abbas memperoleh sambutan hangat dari masyarakat setempat.

Pada tahun 129 H./747 M. Al-Khurasani menggerakkan seluruh kekuatan pasukannya, maka pecahlah revolusi besar (great revolution). Melihat situasi yang sangat berbahaya itu, Ibnu Sayyar menulis surat kepada khalifah Marwan II, kemudian Khalifah Marwan mengutus seorang intelijen untuk mengetahui otak dari gerakan tersebut, dan akhirnya beliau menemukan surat Ibrahim al-Imam kepada Abu Muslim al-Khurasani yang memerintahkan agar membunuh orang yang berbicara bahasa Arab di Khurasan karena peristiwa itu, maka Ibrahim al-Imam ditangkap dan ditahan di Benteng Harran. Namun sebelumnya Ibrahim Al Imam telah berwasiat agar Abdullah Ibn Muhammad (Abu Abbas as-Saffah) sebagai penggantinya, kalau kelak ia wafat.

Adanya revolusi besar yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasani, yang oleh para sejarawan disebut sebagai “Great Strategist” , merupakan salah satu faktor runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah. [2]

B. Teori Revolusi Bangkitnya Bani Abbasiyah

Pertama, teori faksionalisme rasial atau teori pengelompokan kebangasaan. Teori ini mengatakan, daulat Bani Umayyah pada dasarnya adalah Kerajaan Arab yang mementingkan kepentingan orang-orang Arab dan melalaikan kepentingan orang-orang non Arab meskipunsudah memeluk Islam seperti orang-orang Mawali dari Iran sebagai daerah Timur yang baru saja ditaklukkan Islam. Atas perlakuan diskriminatif ini, orang-orang Mawali merasa kecewa dan kemudian menggalang kekuatan di wilayah Islam sebelah timur untuk menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.

Kedua, teori faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan atas dasar paham keagamaan. Teori ini menerangkan bahwa kaum Syi’ah selamanya adalah lawan dari Bani Umayyah yang dianggapnya telah merampas kekuasaan dari tangan Ali ibn Abi Thalib. Menurut teori ini, keberhasilan Daulat Bani Abbasiyah juga menyerap ajaran-ajaran kaum Khawarij. Jadi, kebangkitan daulat Bani Abbasiyah akan dapat dipahami dengan lebih baik jika dilihat dari segi golongan-golongan penganut paham – paham keagamaan tersebut di atas.

Ketiga, teori faksionalisme kesukuan, pertentangan antara dua suku utama Arab yaitu suku atau kabilah Mudharia bagi orang – orang Arab sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap kholifah dari Bani Umayyah didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika yang satu mendukung seorang kholifah, maka yang lain bertindak sebagai oposan. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Bani Abbasiyah di Khurasan sebagai modal teritorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat dan hasil manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut. Dengan kata lain, kebangkitan bani Abbasiyah akan dapat dipahami dengan baik. Jika dilihat dari segi pertentangan kedua suku tersebut.

Keempat, teori yang menekankan kepada ketidakadilan ekonomi dan disparitas regional. Teori ini mengatakan, orang Arab dari Syiria mendapatkan perlakuan khusus dan keuntungan tertentu dari Daulat Bani Umayyah dengan memperoleh keringanan pajak dan hak mengolah tanah yang baru di takhlukan, sedangkan orang Arab dari sebelah timur, khususnya Irak yang tinggal di wilayah Khurasan tidak memperoleh perlakuan seperti itu. Adanya diskriminasi ekonomi tersebut menimbulkan kekecewaan dari kelompok Arab Utara dan bercita – cita untuk menumbangkan Daulat Bani Umayyah. Oleh karena itu menurut teori ini, kebangkitan Bani Abbasiyah akan dapat dipahami dengan baik, jika dilihat dari segi kepincangan – kepincangan kebijaksanaan ekonomi tersebut. [3]

Demikianlah empat teori yang menerangkan tentang hakikat kebangkitan daulat Bani Abbasiyah. Tidak mudah bagi Dinasti Abbasiyah agar mencapai titik keemasan peradaban Islam. Dari DinastiAbbasiyah inilah perkembangan peradaban Islam melaju pesat dengan melahirkan beberapa tokoh penting dunia di bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, filsafat , bahasa serta sastra.

C. Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Dinasti Abbasiyah

Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaanya pada masa Abassiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abassiyah pada periode ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayan Islam daripada perluasan wilayah.

Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa kholifah Harun Ar – Rosyid (786 – 809 M ) dan anaknya Al-Makmun ( 813 – 833 M ). Pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga, ahli baca Al-Qur’an dan para Ulama’ di bidang agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.

Pada masa Harun Ar-Rosyid berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Al-Qur’an, qiro’at, hadits, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Dan ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam pada masa Dinasti Abbasiyah melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam Bahasa Arab, di samping Bahasa India.

Pada pemerintahan Al-Makmum, pengaruh Yunani sangat kuat. Di antara para penerjemah yang masyhur pada saat itu adalah Hunain bin Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan kitab Repubilk dari Plato, dan kitab Katagori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles [4] . Al-Khawarizmi (w.850 M ) menyusun ringkasan astronomi berdasarkan ilmu Yunani dan India.

Lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan tersebut paling tidak, ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut.

1) Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangakn pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.

2) Gerakan penerjemahan berlansung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa Khalifah Al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa Khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

D. Perkembangan Islam pada Dinasti Abbasiyah

1. Peta Wilayah Islam

Pada masa Abbasiyah, kekuasaan Islam bertambah luas dengan pusat perkembangannya di Baghdad. Perluasan kekuasaan dan pengaruh Islam bergerak ke wilayah Timur Asia Tengah, Hindia dan perbatasan Cina. Ini terjadi pada masa khalifah al-Mahdi. Penguasaan Byzantium berlangsung dalam waktu yang lama. Penyerangan Byzantium terhadap Islam pada masa khalifah al-Mansur dapat ditangkis tentara Islam pada tahun 138 H. Pada tahun 165 H., di masa khalifah al-Mahdi umat Islam berhasil memasuki Bosporus yang membuat ratu Irene menyerah dan berjanji membayar upeti. Pada masa daulat Bani Abbasiyah ini wilayah Islam sangat luas, meliputi wilayah yang dikuasai Bani Umayyah antara lain Saudi Arabia, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Quait, Iraq, Iran, Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, Libia, Tunisia, Az-Zajair, Maroko, Spanyol, Afghanistan, Pakistan.

Daerah di atas memang belum sepenuhnya berada di wilayah Bani Umayyah. Namun di zaman Bani Abbasiyah perluasan daerah dan penyiaran Islam semakin berkembang sehingga meliputi daerah Turki, Armenia dan daerah sekitar Laut Kospra, yang sekarang termasuk wilayah Uni Soviet. Bagian wilayah Barat adalah India dan Asiah tengah dan wilayah perbatasan Cina sebelah selatan.

Seluruh wilayah – wilayah yang telah memeluk agama Islam tersebut tidak seluruhnya di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad. Seperti Andalusia (Spanyol), Afrika Utara, dan Mesir, Syam serta India. Sikap politik daulat Bani Abbasiyah berbeda dengan daulat Bani Umayyah. Perbedaan itu terjadi karena di dalam daulat Bani Abbasiyah pemegang kekuasaan lebih merata, bukan hanya di pegang oleh bangsa Arab, tapi lebih demokratis melihat bahwa kekuasaan itu harus dibagi-bagi dalam segala kekuatan masyarakatnya, maka bangsa Persia juga diberi wewenang untuk memegang kekuasaan begitu juga bangsa Turki dan lainnya. [6]

2. Lahirnya Tokoh Intelektual Muslim

Pada mulanya Ibukota Negara adalah Al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu Al-Manshur memindahkan ibukota Negara ke kota yang baru di bangunnya, Baghdad dekat bekas ibukota Persia, Ctesiphon, pada tahun 762 M.

Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya Philip K. Hitti menyebutnya sebagai kota intelektual, menurutnya Baghdad merupakan professor masyarakat Islam. Sebagai ibukota, Baghdad mencapai puncaknya pada masa Harun ar-Rasyid walaupun kota tersebut belum lima puluh tahun dibangun.

Dengan demikian, Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Baghdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan dapat disebutkan sebagai berikut.

a. Bidang Agama

1. Fiqh :

Pada masa dinasti Abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqh dan pendiri madzhab antara lain sebagai berikut :

· Imam Abu Hanifah ( 700-767 M )

· Imam Malik ( 713-795 M )

· Imam Syafi’i ( 767-820 M )

· Imam Ahmad bin Hanbal ( 780-855 M )

2. Ilmu Tafsir

Perkembangan ilmu tafsir pada masa pemerintahan Abbasiyah mengalami kemajuan pesat. Di antaranya, yaitu :

· Ibnu Jarir Ath –Thobariy

· Ibnu Athiyah Al-Andalusi

· Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani

3. Ilmu Hadis :

Di antara para ahli hadis pada masa Dinasti Abbasiyah adalah :

· Imam Bukhari ( 194-256 H ), karyanya Shohih Al-Bukhari

· Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shohih Al-Muslim

· Ibnu Majah, karyanya Sunan Ibnu Majah.

· Abu Dawud, karyanya Sunan Abu Dawud.

· Imam An-Nasai, karyanya Sunan An-Nasai

· Imam Baihaqi

4. Ilmu Bahasa

Di antara ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu shorof, balaghoh. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antarbangsa.

Di antara para ahli ilmu bahasa adalah :

· Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1000 halaman.

  • Al-Kiasi

· Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6000 halaman lebih.

b. Bidang Umum

1. Filsafat

Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.

· Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.

· Abu Nasr Al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar Al-Mualimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedangkan guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles.

· Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avcienna juga seorang dokter istana kenamaan. Di antar bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib (Canon of Medicine).

· Ibnu Bajah (w.581 H)

· Ibnu Tufail (w.581 H), penulis buku novel filsafat hay bin Yaqdzan.

· Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan Hujjatul Islam. Karyanya antara lain : Maqasid Al-Falasifah, Al-Munqid minadh Dholal, Tahafut Al-Falasifah, dan Ihya’ ‘ulumuddin.

· Ibnu Rusyd di Barat dikenal dengan Averros (1126-1198 M). Ibnu Rusyd, seorang filsuf, dokter, dan ulama. Karyanya : Mabadi Al-Falasifah, Tahafut At-Tahafut Al-Falasifah, Al-Kuliah fi Ath-Thibb, dan bidayah Al-Mujtahid.

2. Ilmu Kedokteran

Ilmu Kedokteran pada masa daulah Abbasiyah berkembang pesat. Rumah-rumah sakit besar dan sekolah kedokteran didirikan.

Di antara sekolah dan perguruan tinggi kedokteran yaitu, :

· Sekolah Tinggi kedokteran di Yunda Shapus

· Sekolah Tinggi kedokteran di Baghdad

· Sekolah Tinggi kedokteran di Hirran, Syiria.

Para dokter ahli kedokteran Islam yang terkenal antara lain :

· Jabir Ibn Hayyan, (wafat tahun 161 H./778 M.) sebagai bapak ilmu kimia.

· Hunain Ibn Ishaq, (194-264 H./810-878 M.), ahli mata yang terkenal.

· Tabib Ibn Qurra (221-228 H./836-901 M.)

· Ar-Raji (251-313 H./809-873 M.)

3. Bidang Matematika

Salah satu ahli di bidang matematika pada saat Dinasti Abassiyah adalah Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi ( 780 – 850 H. ). Al-Khawarizmi adalah seorang ahli matematika, astronomi, astrologi dan geografi yang berasal dari Persia. Hampir sepanjang hidupnya, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Baghdad.

E. Khilafah Bani Abassiyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abassiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan bebeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Bedasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode: [7]

· Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.

· Periode Kedua (232H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.

· Periode Ketiga ( 334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia Kedua.

· Periode Keempat ( 447 H/1055 M – 590 H/1194 M ), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua.

· Periode Kelima ( 590 H/1194 M – 656 H/1258 M ), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaan hanya efektif di sekitar Baghdad.

Dibandingkan dengan dinasti Islam lainnya, dinasti Abbasiyah tergolong yang paling lama berkuasa. Dalam kurun waktu selama lebih dari lima abad, kepemimpinan dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah, atau masing – masing berkuasa selama 14 tahun. Namun dari 37 orang khalifah Bani Abbas tersebut ada lima khalifah yang paling terkenal yaitu, Abu Al-Abbas al-Shaffah, Abu Ja’far al-Mansur, al-Mahdi, Harun al-Rosyid, dan al-Ma’mun. [8]

Pada masa Khalifah Abu Al-Abbas al-Shaffah yang berkuasa lebih kurang selama lima tahun (750 – 754 M), sebagian besar waktu digunakan untuk melakukan konsolidasi internal. Hal ini dikarenakan banyaknya pemberontakan, huru hara dan konflik. Banyak lawan politik yang harus dikalahkan oleh Abu Al-Abbas yang akhirnya beliau banyak melakukan pembunuhan. Oleh karena itu, Abu Al-Abbas dijuluki al-Shaffahyang berarti si haus darah.

Pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, beliau memperhatikan masalah sosial. Sejarah mencatat bahwa pada masa kekhalifahannya ini digunakan untuk menyusun peraturan, membuat undang – undang, menciptakan inovasi dalam pemerintahan.Beliau berkuasa relatif lama yaitu berkisar antara 754 M sampai dengan 775 M.

Selanjutnya, al-Manshur digantikan oleh putranya Abu Abd.Muhammad Ibn al-Manshur yang lahir di Idzaj (daerah antara Khuzistan dan Isfahan).Masa pemerintahannya digunakan, untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri dan menyejahterakan rakyat. Selain itu, beliau juga membangun benteng – benteng yang memberi pengamanan terhadap pusat – pusat kota. Berkat usaha kerasnya ini, maka Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional.Musik, syair, filsafat dan kesusastraan mulai menarik perhatian banyak orang.

Di zaman Kholifah Harun Al-Ryosid, dunia Islam mengalami kemajuan yang semakin pesat. Kholifah Harun Al-Ryosid mencapai puncak kekuasaan, kemakmuran, dan kebudayaan pada zamannya. Hal itu dikarenakan selama pemerintahannya selama kurang lebih 23 tahun difokuskan untuk mengembangkan politik, perdangangan, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dari semua kholifah, Harun Al-Rosyid merupakan kholifah yang paling cemerlang.

Kemudian di zaman al-Makmun, keadaan peradaban dan kebudayaan Islam semakin mencapai puncak keemasannya. Beliau adalah sosok kholifah yang haus akan ilmu pengetahuan. Beliau juga banyak mengoleksi buku – buku untuk disimpan di perpustakaan Negara.

F. Kemunduran Dinasti Abbasiyah

a. Faktor Intern

· Kemewahan hidup di kalangan penguasa

Perkembangan dan keberhasilan Dinasti Abbasiyah pada periode awal, telah mempengaruhi gaya hidup penguasa menjadi hedonisme. Kondisi ini memberi peluang pada tentara Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.

· Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah

Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Makmun dengan Al-Amin. Sehingga dari kedua belas kholifah pada periode kedua Dinasti Bani Abbasiyah, hanya empat kholifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya, para khalifah itu wafat dengan cara tidak wajar karena dibunuh atau diracun.

· Konflik keagamaan

Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dan Kholifah Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat : pengikut Muawiyah, Syi’ah, dan Khawarij, ketiga kelompok ini saling berebut pengaruh yang akhirnya mampu menggoyahkan Dinasti Abbasiyah.

b. Faktor Ekstern

· Banyaknya pemberontakan

Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, secara real, daerah – daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur – gubernur yang bersangkutan. Akibatnya, provinsi – provinsi tersebut banyak yang melepaskan diri dari genggaman Bani Abbas.

· Dominasi Bangsa Turki

Sejak abad kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran.Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah memperkerjakan orang – orang professional di bidang kemiliteran, khusunya di tentara Turki, yang kemudian mengancam kekuasaan khalifah.Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Walaupun khalifah dipegang oleh Bani Abbas, di tangan mereka, khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa – apa.

· Dominasi Bangsa Persia

Pada mulanya, keturunan Persia berkhidmat kepada pembesar – pembesar dari para khalifah, sehingga banyak dari mereka yang menjadi panglima tentara, di antaranya menjadi panglima besar. Setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para Khalifah Abbasiyah berada di bawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan mereka. [9]

G. Kehancuran Bani Abbasiyah

a. Faktor Intern

· Lemahnya semangat patriotisme Negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan yang datang, baik dari dalam maupun dari luar.

· Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat – sifat baik yang mendukung Negara selama ini.

· Fanatik madzhab persaingan dan perebutan yang tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah yang menyebabkan kekuatan umat Islam menjadi lemah, bahkan hancur.

· Kemosrotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya pemberontakan dan kebiasaan penguasa untuk berfoya – foya.

b. Faktor Ekstern

Disintegrasi akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan perdaban dan kebudayaan Islam daripada politik, provinsi – provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedar memisahkan diri dari kekuasaan kahlifah, tetapi memberontak dan berusaha merebut pusat kekuasaan di Baghdad. [10]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa Dinasti Bani Abbasiyah merupakan puncak peradaban Islam. Hal ini dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan pada beberapa Khalifah mengalami perkembangan yang pesat. Dalam kurun waktu yang relatif lama, tidak mustahil jika Dinasti Bani Abbasiyah mampu memajukan peradaban Islam pada masa itu.

Seiring dengan berjalannya waktu, muncul lah ego – ego dari para penguasa sehingga menjadi faktor yang menyebabkan kemunduruan Dinasti Bani Abbasiyah. Banyaknya penguasa yang hedonisme, korupsi serta berfoya – foya membuat anggaran Negara sulit untuk diatur. Akibatnya banyak bangsa seperti Turki dan Persia, ingin mengambil alih kekuasaan Bani Abbasiyah dengan cara menggerogoti dari dalam. Juga karena banyaknya provinsi yang melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan Bani Abbasiyah. Provinsi – provinsi ini tidak hanya melepaskan diri, tapi juga ikut memberontak dan ingin menggusur Bani Abbasiyah. Hal inilah yang membuat lemahnya Dinasti Bani Abbasiyah hingga akhirnya para pemberontak berhasil merobohkan kekuasaan Bani Abbasiyah.

DAFTAR PUSTAKA

Syukur, Fatah NC, Sejarah Peradaban Islam,Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2011

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2010

Nata, H. Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam,Kencana, Jakarta, 2011

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam,Pustaka Setia, Bandung, 2008

Samsul, Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Amzah, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar