BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebelum
memperoleh kemedekaan, bangsa Indonesia terlebih dahulu memproklamasikan
kemerdekaannya yang dikenal dengan “Proklamasi Kemerdekaan”. Proses ini berawal
dari terdengarnya berita kekalahan Jepang dari pihak sekutu, seketika juga
kelompok pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Bangsa Indonesia. Akan tetapi dengan alasan menunggu janji Jepang
untuk memberikan kemerdekaan
Indonesia, Soekarno-Hatta tidak dengan segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hal inilah yang mendorong para pemuda
melakukan aksi penculikan terhadap Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok yang
akhirnya dikenal dengan “Peristiwa Rengasdengklok”. Atas nama
bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung Karno
didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah maju
sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdekaan
tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia
mendapat simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya
pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah
negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang
Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno dan Bung Hatta sebagai
Wakil Presiden. Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945. Meskipun demikian, Belanda tidak mengakui kemerdekaan itu
dan terus berusaha untuk menjajah Indonesia kembali. Setelah kedatangan
sekutu ke Indonesia dalam rangka mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang,
ternyata diikuti oleh Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia, maka
rakyat Indonesia di berbagai daerah mengangkat senjata untuk mempertahankan
kemerdekaan.
Bangsa
Indonesia berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kemerdekaan. Ada dua
bentuk perjuangan mempertahakan kemerdekaan, yaitu perjuangan fisik dan
perjuangan diplomasi. Perjuangan fisik dilakukan dengan cara bertempur
melawan musuh. Perjuangan diplomasi dilakukan dengan cara menggalang
dukungan dari negara-negara lain dan lewat
perundingan-perundingan. Kemerdekaan Indonesia tentu merupakan
sebuah bencana bagi negara yang telah menjajah Indonesia.. Maka, Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir perjuangan
bangsa Indonesia. Akan tetapi, ia adalah awal perjuangan baru bangsa ini dalam
membangun sebuah tatanan berbangsa dan bernegara. Sebuah negara berdiri bukan hanya
berdasarkan wilayah, namun juga membutuhkan perangkat pemerintahan, dan yang
terpenting adalah pengakuan kedaulatan dari negara lain. Karena pada hakikatnya
(seperti halnya manusia sebagai makhluk sosial), dalam kehidupan bernegara juga
membutuhkan negara lain agar bangsa dan negara ini dapat bergaul dan tidak
terkucilkan dalam hubungan internasional.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia
dan Belanda pasca Kemerdekaan Indonesia?
2.
Apa saja peran dunia internasional dalam penyelesaian
konflik Indonesia-Belanda?
3.
Bagaimana perjuangan perlawanan bangsa Indonesia di
daerah-daerah dalam mempertahankan kemerdekaan?
4.
Bagaimana perjuangan diplomasi Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan?
5.
Apa saja faktor yang memaksa Belanda keluar dari Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Kemampuan untuk mengidentifikasi konflik yang terjadi
antara Indonesia dan Belanda pasca Kemerdekaan Indonesia
2.
Kemampuan untuk mengidentifikasi peran dunia internasional
dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda
3.
Kemampuan untuk mendeskripsikan perjuangan rakyat dan
pemerintah di berbagai daerah
4.
Kemampuan untuk mengetahui perjuangan diplomasi yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia
5. Kemampuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memaksa
Belanda keluar dari Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab
Terjadinya Konflik Indonesia-Belanda Pasca Kemerdekaan
Perjuangan
bangsa Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan hari demi hari semakin nyata
hasilnya. Akan tetapi tantangan yang dihadapi selalu silih berganti. Seperti
telah kita ketahui bahwa Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17
Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang
Dasar (UUD 1945) dan dipilih Ir. Soekarno sebagai Presiden sedangkan Drs. Moh.
Hatta sebagai Wakil Presiden. Perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya semakin
berat karena harus mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kekuasaan bangsa
asing.
Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda sebagai
berikut:
1.
Kedatangan Tentara Sekutu Diboncengi oleh NICA
Semenjak Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal
14 Agustus 1945 maka secara hukum jepang tidak lagi berkuasa di Indonesia. Hal
ini mengakibatkan Indonesia berada dalam keadaan Vacum Of Power (tidak ada
seorang pemerintah yang berkuasa) maka pada waktu itu dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala Tentara Kerajaan Jepang di Jawa
mengumumkan bahwa pemerintahan akan diserahkan pada Sekutu bukan pada pihak
Indonesia. Dan pada tanggal 14 September perwirwa Sekutu datang ke Jakarta
untuk mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan
rombongan Sekutu.
Pada tanggal 29 September 1945 akhirnya Sekutu mendarat di
Indonesia yang bertugas melucuti tentara Jepang. Semula rakyat Indonesia
menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan
perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di
dalamnya, sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah
organisasi yang didirkan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke Australia
setelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan dan
berpusat di Australia. Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai
kembali KNIL setelah dilepas oleh Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan
Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana
terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu.
Tugas yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan
oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah Letnan Sir Philip
Christinson. Mereka memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali Hindia
Belanda. Adapun tugas AFNEI di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Menerima penyerahan dari tangan Jepang.
2.
Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
3.
Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian
dipulangkan.
4.
Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian
diserahkan kepada pemerintahan sipil.
5.
Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut
mereka di depan pengadilan.
Kedatangan
pasukan Sekutu pada mulanya disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia.
Namun, setelah diketahui bahwa Sekutu membawa NICA(Netherland Indies Civil
Administration) sikap masyarakat berubah menjadi curiga karena NICA adalah
pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan sipil di Indonesia. Para pemuda memberikan sambutan tembakan
selamat datang. Situasi keamanan menjadi semakin buruk sejak NICA
mempersenjatai kembali tentara KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang.
Melihat
kondisi yang kurang menguntungkan, Panglima AFNEI menyatakan pengakuan sedara
de facto atas Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. Sejak saat itu,
pasukan AFNEI diterima dengan tangan terbuka oleh pejabat-pejabat RI di
daerah-daerah untuk membantu memperlancar tugas-tugas AFNEI.
Namun
dalam kenyataannya di daerah-daerah yang didatangi Sekutu selalu terjadi
insiden dan pertempuran dengan pihak RI. Hal itu disebabkan pasukan Sekutu
tidak bersungguh-sungguh menghormati kedaulatan RI. Sebaliknya pihak Sekutu
yang merasa kewalahan, menuduh pemerintah RI tidak mampu menegakkan keamanan
dan ketertiban sehingga terorisme merajalela. Pihak Belanda yang bertujuan
menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia berupaya memanfaatkan situasi ini
dengan memberi dukungan kepada pihak Sekutu. Panglima Angkatan Perang Belanda,
Laksamana Helfrich, memerintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Sekutu.
Kedatangan
tentara Sekutu yang diboncengi NICA menyebabkan terjadinya konflik dan
pertempuran di berbagai daerah. Keinginan Belanda untuk kembali menjajah
Indonesia berhadapan dengan rakyat Indonesia yang mempertahankan
kemerdekaannya. Oleh karena itu, terjadi pertempuran di berbagai daerah di
Indonesia. Konflik antara Indonesia-Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia
internasional untuk menyelesaikannya.
2.
Kedatangan NICA (Belanda) Berupaya Untuk Menegakkan Kembali
Kekuasaannya di Indonesia
NICA
berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger,
yaitu Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia). Orang-orang NICA
dan KNIL di Jakarta, Surabaya dan Bandung mengadakan provokasi sehingga
memancing kerusuhan. Sebagai pimpinan AFNEI, Christison menyadari bahwa untuk
kelancaran tugasnya diperlukan bantuan dari Pemerintah Republik Indonesia. Oleh
karena itu diadakanlah perundingan dengan pemerintah RI. Christison mengakui
pemerintahan de facto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. la tidak
akan mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraaan Indonesia. Dalam
kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat hura-hara dan tidak menghormati
kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA sering melakukan teror terhadap
pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa Indonesia mengetahui bahwa
kedatangan Belanda yang membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan kembali
kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita berjuang dengan
cara-cara diplomasi maupun kekuatan senjata untuk melawan Belanda yang akan
menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan Belanda ini akhirnya
melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya.
B. Peran
Dunia Internasional dalam Penyelesaian Konflik Indonesia-Belanda
Konflik yang terjadi
antara Indonesia-Belanda pasca kemerdekaan Indonesia akhirnya melibatkan dunia
Internasional untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Adapun peran dunia
internasional dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda yaitu:
1.
Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pada tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia
mengajukan masalah Indonesia- Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam
Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang
mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan
pertikaian melalui perwasitan (arbitrase) atau dengan cara damai yang lain.
Menindaklanjuti ajakan PBB untuk penyelesaian dengan cara damai, maka Republik
Indonesia menugaskan Sutan Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang
berbicara dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk
mengakhiri konflik antara Indonesia dengan Belanda jalan satu-satunya adalah
pembentukan Komisi Pengawas dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan.
Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan menerima usul Australia secara keseluruhan
dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul
ini didukung oleh Rusia dan Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan
pembentukan Komisi Pengawas gencatan senjata.
Usul di atas didukung oleh Amerika Serikat, Australia,
Brazilia, Columbia, Polandia, dan Suriah tetapi diveto Perancis, sebab dianggap
terlalu menguntungkan Indonesia. Pada tanggal 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan
PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan Komisi Jasa-Jasa Baik
(Committee of Good Offices) untuk membantu menyelesaikan pertikaian
Indonesia-Belanda. Komisi inilah yang kemudian dikenal dengan Komisi Tiga
Negara (KTN), yang terdiri atas :
a. Australia (diwakili oleh Richard C. Kirby), atas
pilihan Indonesia,
b. Belgia (diwakili oleh Paul Van Zeeland), atas
pilihan Belanda,
c. Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank Porter Graham), atas pilihan
Australia dan Belgia.
Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN tiba di Jakarta untuk
melaksanakan tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya, KTN mengalami kesulitan
karena Indonesia maupun Belanda tidak mau bertemu di wilayah yang dikuasai
pihak lainnya. Akhirnya KTN berhasil mempertemukan Indonesia-Belanda dalam
suatu perundingan yang berlangsung pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal
perang Amerika Serikat “Renville” yang berlabuh di teluk Jakarta. Perundingan
ini dikenal dengan perundingan Renville. Akibat dari perundingan Renville
wilayah Rl semakin sempit dan kehilangan daerah-daerah yang kaya karena
diduduki Belanda.
2.
Peranan Konferensi Asia dan Resolusi Dewan Keamanan PBB
Aksi militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 terhadap
Republik Indonesia menimbulkan reaksi dunia luar. Inggris dan Amerika Serikat
tidak setuju dengan tindakan Belanda itu, tetapi ragu-ragu turun tangan. Di
antara negara yang tampil mendukung Indonesia adalah Autralia dan India.
Australia mendukung Indonesia karena ingin menegakkan perdamaian dan keamanan
dunia sesuai dengan piagam PBB. Di samping itu Partai Buruh Australia yang
sedang berkuasa sangat simpatik terhadap perjuangan kemerdekaan. Sedangkan
India mendukung Indonesia karena solidaritas sama-sama bangsa Asia juga senasib
karena sebagai bangsa yang menentang penjajahan. Hubungan Indonesia dengan
India terjalin baik terbukti pada tahun 1946 Indonesia menawarkan bantuan padi
sebanyak 500.000 ton untuk disumbangkan kepada India yang sedang dilanda bahaya
kelaparan. Sebaliknya India juga menawarkan benang tenun, alat-alat pertanian,
dan mobil. Pada waktu Belanda melakukan aksi militernya yang kedua yakni pada
tanggal 19 Desember 1948, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan
Perdana Menteri Birma (Myanmar) U Aung San memprakarsai Konferensi Asia.
Konferensi ini diselanggarakan di New Delhi dari tanggal 20 - 23 Januari 1949
yang dihadiri oleh utusan dari negara-negara Afganistan, Australia, Burma
(Myanmar), Sri Langka, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Libanon, Pakistan,
Philipina, Saudi Arabia, Suriah dan Yaman. Hadir sebagai peninjau adalah wakil
dari negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai. Wakil-wakil dari
Indonesia yang hadir antara lain Mr. A.A. Maramis, Mr. Utojo, Dr. Surdarsono,
H. Rasjidi, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Konferensi Asia tersebut
menghasilkan resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Isi
resolusinya antara lain sebagai berikut.
a. Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke
Yogyakarta.
b. Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai
kemerdekaan dalam politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia
d. Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia
Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
Dengan adanya dukungan dari negara-negara di Asia,
Afrika, Arab, dan Australia terhadap Indonesia, maka pada tanggal 28 Januari
1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang disampaikan kepada Indonesia
dan Belanda sebagai berikut.
a. Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka.
b. Mendesak Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden
dan Wakil Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948
di wilayah RI; pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu
pengembalian pegawai-pegawai RI ke Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan
tugasnya dalam suasana yang benar-benar bebas.
c. Menganjurkan agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar
persetujuan Linggar jati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan
suatu pemerintah ad interim federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949,
Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat
selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.
d. Sebagai tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah
menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk
Indonesia dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan
yang mengikat atas dasar mayoritas. Tugas UNCI adalah membantu melancarkan
perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah
Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai
berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
Resolusi itu dirasa oleh bangsa Indonesia masih ada kekurangan yakni bahwa
Dewan Keamanan PBB tidak mendesak Belanda untuk mengosongkan daerah-daerah RI
selain Yogyakarta. Di samping itu Dewan Keamanan tidak memberikan sanksi atas
pelanggaran terhadap resolusinya. Akan tetapi, bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang cinta damai maka selalu menaati semua isi resolusi sepanjang sesuai dengan
prinsip Indonesia Merdeka dan sikap berperang untuk mempertahankan diri.
C. Perjuangan
Perlawanan bangsa Indonesia di Daerah-Daerah
Kehadiran
pasukan Sekutu yang membawa orang-orang NICA pada tanggal 29 September 1945
sangat mencemaskan rakyat dan pemerintah RI. Keadaan ini semakin memanas ketika
NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan
Jepang. Para pejabat Republik Indonesia yang menerima kedatangan pasukan ini
karena menghormati tugas. Mereka menjadi sasaran teror dan percobaan
pembunuhan. Oleh karena itu sikap pasukan Sekutu yang tidak menghormati
kedaulatan negara dan bangsa Indonesia ini dihadapi dengan kekuatan senjata,
oleh rakyat dan pemerintah. Di beberapa daerah muncul perjuangan untuk mempertahankan
kemerdekaan sebagai berikut:
1.
Pertempuran 10 November di Surabaya
Pertempuran di Surabaya diawali dengan pendaratan pasukan
Sekutu dibawah pimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945.
Pada tanggal 27 Oktober, mereka menyerbu penjara dan membebaskan
perwira-perwira Sekutu yang sebelumnya ditawan oleh pejuang-pejuang republik.
Pembebasan tanpa izin pemerintah RI telah menimbulkan kemarahan rakyat
setempat, sehingga mereka secara serentak mengadakan serangan terhadap Sekutu.
Dalam suatu pertempuran, Mallaby terbunuh. Hal ini
menimbulkan kemarahan Sekutu, sehingga komandan pasukan Sekutu di Jawa Timur,
Mayjend R. Mansergh mengeluarkan ultimatum. Ultimatum tersebut berisi :
a.
Semua pemimpin Indonesia termasuk pemimpin pergerakan,
pemuda, polisi, dan petugas radio harus melapor kepada Inggris dalam batas
waktu sampai pukul 18.00 pada tanggal 9 November 1945
b.
Mereka harus berbaris satu-persatu dengan membawa senjata
yang dimilikinya
c.
setelah meletakkan senjata, mereka harus berjalan dengan
tangan di atas kepala menuju pos yang telah ditentukan
d.
jika ultimatum ini tidak ditaati, Inggris akan
menghancurkan seluruh kota Surabaya
Ultimatum
tersebut tidak digubris oleh rakyat Surabaya yang didukung juga oleh
gubernurnya R. Soerjo. Semangat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan
telah mendorong rakyat rela berkorban. Bung Tomo salah seorang pimpinan para
pejuang selalu membangkitkan semangat perjuangan melalui radio agar rakyat
Surabaya tidak menghiraukan ultimatum Inggris. Akhirnya, pasukan Inggris dan
Belanda menggempur Surabaya dari segala jurusan dengan persenjatan berat dan
lengkap pada tanggal 10 November 1945. Penduduk Surabaya bertempur mati-matian
sehingga banyak korban yang tewas. Pertempuran di Surabaya bagi pasukan Inggris
sendiri merupakan perang terbesar yang dialaminya setelah Perang Dunia II,
sehingga mereka menyebutnya “neraka”. Peristiwa tanggal 10 November tersebut
kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
2.
Bandung Lautan Api (23 Maret 1946)
Pada bulan Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia (TRI)
dan pemuda serta rakyat sedang berjuang melawan tentara Jepang untuk merebut
senjata dari tangan Jepang. Pada saat itu, pasukan AFNEI sudah memasuki kota
Bandung. Pasukan AFNEI menuntut pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata.
Disamping itu, TRI harus mengosongkan kotra Bandung bagian utara paling lambat
tanggal 29 Oktober 1945.
Tuntutan dari AFNEI tersebut tidak diindahkan oleh TRI
maupun rakyat Bandung. Dipimpin oleh Arudji Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung
melakukan serangan terhadap kedudukan AFNEI. Pertempuran itu berlanjut hingga
memasuki tahun 1946. Pada tanggal 23 maret 1946, AFNEI kembali mengeluarkan
ultimatum supaya TRI meninggalkan kota Bandung. Ultimatum itu diperkuat dengan
adanya perintah dari pemerintah pusat Jakarta supaya TRI meninggalkan Bandung.
Pemerintah dari pusat tersebut memang bertentangan dengan
instruksi dari markas TRI di Yogyakarta. Sebelum meninggalkan Bandung, TRI
mengadakan perlawanan dengan cara membumihanguskan kota Bandung bagian selatan.
Tindakan itu membawa akibat fatal bagi pasukan AFNEI, karena mengalami
kesulitan akomodasi dan logistik di kota Bandung. Tindakan membumihanguskan
kota dikenal dengan Bandung Lautan Api.
3.
Peristiwa Palagan Ambarawa (21 November – 15 Desember 1945)
Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 21 November
1945 dan berakhir tanggal 15 Desember 1945, antara pasukan TKR dan laskar
pemuda melawan pasukan Inggris. Peristiwa tersebut dilatar-belakangi sebuah insiden
di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di
Semarang. Pihak RI memperkenankan mereka untuk mengurus tawanan perang yang
berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Tetapi kedatangan pasukan Inggris
ternyata diikuti oleh pasukan NICA yang kemudian mempersenjati para bekas
tawanan perang Jepang tersebut. Maka pecahlah pertempuran di Ambarawa-Magelang.
Pada waktu itu, TKR dibawah pimpinan Panglima Divisi V
Banyumas, Kolonel Soedirman dan berhasil memukul mundur Sekutu sampai ke
Semarang pada tanggal 15 Desember 1945. Kemenangan di Ambarawa itu mempunyai
arti yang sangat penting karena letaknya yang strategis. Apabila musuh
menguasai Ambarawa, mereka bisa mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah, yaitu
Surakarta (Solo), Magelang, dan terutama Yogyakarta yang merupakan tempat
kedudukan markas tertinggi TKR. Pertempuran di Ambarawa tersebut terkenal
dengan sebutan “Palagan Ambarawa”, dan sampai sekarang selalu diperingati
sebagai “Hari Infanteri” oleh TNI-AD.
4.
Pertempuran Medan Area ( 10 Desember 1945)
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada
tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya
sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan
yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite
Nasional Indonesia di wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu
mendarat di Sumatera Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly.
Serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan
mengambil alih pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas
persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga
menyebabkan terjadinya insiden di beberapa tempat. Achmad Tahir, seorang bekas
perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra Tirnur. Pada
tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk
Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18 Oktober 1945
Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar
menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA.
Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Bagaimana sikap
para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang dilakukan pihak
Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan
serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat
tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI
ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang
Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus
berjuang dengan membentuk Laskar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga
terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan
Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu
dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam
pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi
perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa
Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin
sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif.
Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di
seluruh Sumatera rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan
kemerdekaan.
5.
Peristiwa Merah Putih di Manado (14 Februari 1946)
Peristiwa Merah Putih di Manado terjadi tanggal 14 Pebruari
1946. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische
Leger). Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan
perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon dan Minahasa. Sekitar 600
orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Pebruari
1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di
seluruh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat
kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan
keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Wuisan.
Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa
hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Pebruari 1946. Dr. Sam
Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan
keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan Badan
Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang
ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan
bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia.
Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Dr. Sam Ratulangi ditangkap dan
dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua)
6.
Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pada tanggal 15 — 20 Oktober 1945 di Semarang terjadi
pertempuran hebat antara pejuang Indonesia dengan tentara Jepang. Peristiwa ini
diawali dengan adanya desas-desus bahwa cadangan air minum di Candi, Semarang
diracun oleh Jepang. Untuk membuktikan kebenarannya, Dr. Karyadi, kepala laboratorium
Pusat Rumah Sakit Rakyat melakukan pemeriksaan. Pada saat melakukan
pemeriksaan, ia ditembak oleh Jepang sehingga gugur. Dengan gugurnya Dr.
Karyadi kemarahan rakyat khususnya pemuda tidak dapat dihindarkan dan
terjadilah pertempuran yang menimbulkan banyak korban jiwa. Untuk mengenang
peristiwa itu, di Semarang didirikan Tugu Muda. Untuk mengenang jasa Dr.
Karyadi diabadikan menjadi nama sebuah Rumah Sakit Umum di Semarang.
Selain
perjuangan perjuangan di atas masih banyak lagi perjuangan yang dilakukan para
pahlawan kita demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia Seperti pertempuran
empat hari di surakarta, Perisiwa Merah Putih di Biak, pertempuran di
teluk cirebon, dll
D. Perjuangan
Diplomasi Indonesia dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Selaian berjuang
mempertahankan Indonesia melalui perjuangan fisik, Indonesia juga berusaha
tetap mempertahankan kemerdekaanya melalui perjuangan Diplomasi. Diplomasi
artinya perundingan/perjanjian yang dibuat untuk disepakati. Para pejuang
diplomasi Indonesia berunding dengan Belanda untuk membuat perjanjian yang akan
dilaksanakan.
Berikut adalah berbagai
perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia:
1.
Pertemuan Soekarno-Van Mook
Pertemuan antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin
Indonesia diprakarsai oleh Pang lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip
Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam pertemuan tersebut pihak
Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Sobardjo, dan H. Agus
Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van Mook dan Van Der Plas. Pertemuan
ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang
berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik
Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk
menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangannya
mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk
Indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki
pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van
Mook bahwa pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh
Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan Van Mook akan dipecat dari
jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia).
2.
Pertemuan Syahrir-Van Mook
Pertemuan
ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar
Tentara Inggris di Jakarta ( Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak
Sekutu diwakili oleh Letnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J.
Van Mook, sedangkan delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri
Sutan Sjahrir. Sebagai pemrakarsa pertemuan ini, Christison bermaksud
mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di samping menjelaskan maksud
kedatangan tentara Sekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.
3.
Perundingan Syahrir-Van Mook
Pertemuan-pertemuan
yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu mengalami kegagalan.
Akan tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan
Belanda bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk mempertemukan kembali
pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang
diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada
tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu
Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai
berikut:
1.
Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk
federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan
Belanda.
2.
Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan
luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal
12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai
berikut.
1. Republik
Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas
Hindia Belanda.
2. Federasi
Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri
dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas
orang-orang Indonesia dan Belanda.
Usul dari pihak
Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook secara
pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk
mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan
Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru
kepada Van Mook antara lain sebagai berikut:
1.
Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl
atas Jawa dan Sumatera.
2.
Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik
Indonesia Serikat (RIS).
3.
RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao,
menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
4.
Perundingan di Hooge Veluwe
Perundingan
ini dilaksanakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri
Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah
disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:
1.
Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang
mewakili pihak pemerintah RI;
2.
Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen,
Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
3.
Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
Perundingan yang
berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda
tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan
Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
5.
Perundingan Linggarjati
Walaupun
Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya
bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia
memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah
Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian
Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof
Schermerhorn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan
wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang
berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam
perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan
akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn.
Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
1.
Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada
waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
2.
Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk
masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai
kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah
Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10 November 1946
di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof.
Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van Mook.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan
anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto
Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia
Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret
1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah
sebagai berikut:
1.
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah
meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
2.
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam
membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat,
yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3.
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Meskipun isi perundingan
Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda,
akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena
Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto.
6.
Perundingan Renville
Perbedaan
penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya
Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21
Juli 1947. Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan
antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini
dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS
Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan
Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia
mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak
Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang
memihak Belanda. Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948 yang intinya sebagai berikut:
1.
Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia
Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui
Negara Indonesia Serikat (NIS).
2.
Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah
berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan
daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia
Serikat.
3.
Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau
menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
Akibat dari perundingan
Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan
Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani
perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena persediaan
amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti belanda akan
menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan
Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan
dimenangkan pihak Indonesia.
7.
Persetujuan Roem-Royen
Ketika
Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia
berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan
pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18
Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville
dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember
1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di
Yogyakarta. Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya
menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations
Commission for Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan
perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei
1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku
ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut:
1.
Pernyataan Mr. Moh Roem
a.
Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang
bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b.
Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga
ketertiban dan keamanan.
c.
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan
maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan
lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2.
Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke
Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan
semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang
berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan
tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari
Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar
segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
8.
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah segera
diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah
Konferensi Inter - Indonesia antara wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO
(Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Permusyawarahan Federal.
Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di
Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu
keputusan penting dalam konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan
Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatanikatan politik
ataupun ekonomi. Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah
Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana
Menteri Belanda, Willem Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO
di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda dipimpin
Van Maarseveen sedangkan dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada
tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari
persetujuan KMB adalah sebagai berikut:
1.
Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2.
Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun
setelah pengakuan kedaulatan.
3.
Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan
hubungan Uni Indonesia - Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4.
Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara
Belanda.
5.
Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai
intinya.
Dari hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan
Desember 1949 Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada
tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di
negeri Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri
Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi
Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink
menandatangani naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh
Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara
serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).
E. Faktor
yang Memaksa Belanda Keluar dari Indonesia
Ketika
Belanda melakukan agresi militemya yang kedua, tanggal 19 Desember 1948, Dewan
Keamanan PBB merasa tersinggung karena tindakan Belanda tersebut telah
melanggar persetujuan gencatan senjata yang telah diprakasai oleh Komisi Tiga
Negara (KTN). Di dalam negeri Indonesia pun Belanda tidak memperoleh dukungan
politik bahkan para pejuang melakukan gerilya maupun serangan umum. Menghadapi
kondisi yang demikian ini maka Belanda mengubah sikapnya yakni sepakat
dilakukan gencatan senjata. Penghentian tembak menembak akan mulai berlaku di
Jawa tanggal 11 Agustus 1949, dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus 1949. Pada
masa gencatan senjata itulah berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag
pada tanggal 23 Agustus 1949. Dalam konferensi ini hasil utamanya antara lain
bahwa Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada akhir
bulan Desember 1949. dengan demikian hal ini memaksa Belanda harus keluar dari
bumi Indonesia.
Berikut ini adalah
faktor yang memaksa Belanda Keluar dari Indonesia:
§
Faktor dari Dalam
1.
Dari dalam negeri Indonesia, Belanda menyadari bahwa
kekuatan militernya tidak cukup kuat untuk memaksa RI tunduk kepadanya.
2.
Perang yang berkepanjangan mengakibatkan hancurnya
perkebunan dan pabrik-pabrik Belanda. Untuk menghindarkan hal itu Belanda harus
mengubah strateginya.
3.
Belanda tidak mendapat dukungan politik dari dalam negeri
Indonesia. Ketika membujuk Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi pemimpin
sebuah negara di Jawa maka ditolaknya.
4.
Para pejuang Republik Indonesia terus melakukan perang
gerilya dan serangan umum.
§
Faktor dari Luar
PBB dan Amerika Serikat
mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Amerika Serikat mengancam
akan menghentikan bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan perekonomian
Belanda. Dengan adanya faktor-faktor di atas maka diselenggarakanlah KMB yang
bermuara diakuinya kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27
Desember 1949 sehingga memaksa Belanda keluar dari bumi Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia yang diboncengi oleh
NICA membawa ancaman bagi keberlangsungan kemerdekaan bangsa Indonesia. Belanda
ternyata ingin menjajah kembali negara kita yang telah diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Untuk mempertahankan kemerdekaan, para pemimpin nasional
menggunakan cara diplomasi dan perjuangan fisik. Langkah diplomasi dilakukan
baik melalui forum internasional, seperti Kegiatan diplomasi (perundingan)
dengan Belanda, misalnya Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville,
Perundingan Roem-Royen, hingga KMB. Perjuangan fisik dalam mempertahankan
kemerdekaan ditempuh oleh rakyat di berbagai pelosok Nusantara bersama dengan
tentara. Beberapa contoh perjuangan fisik tersebut antara lain Palagan
Ambarawa, Bandung Lautan Api, Pertempuran Margarana, Pertempuran Medan Area,
Serangan Umum 1 Maret 1949,dll.
Setelah
perjuangan yang cukup panjang, akhirnya tanggal 27 Desember 1949 Belanda
mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sejajar dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
B. Saran
Adapun
dari penulisan makalah ini saya selaku penulis menyarankan kepada generasi muda
agar tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan cara ikut berpartisipasi
dalam mengisi kemerdekaan Indonesia, dan mencontoh semangat para pahlawan
terdahulu, betapa sulitnya mereka meraih kemerdekaan dan mempertahankannya
hingga sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Rusmini, S. Pd & Soedarman, S.Pd. 2007. Ips Terpadu
SMP kelas VIII semester 2. Jakarta : Putra Angkasa.
http://renggap.co.cc/perjuangan-mempertahankan-kemerdekaan-republik-indonesia/Bottom
of Form
http://www.crayonpedia.org/mw/BAB_3._USAHA_PERJUANGAN_MEMPERTAHANKAN_KEMERDEKAAN_INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar